Minggu, 19 Juni 2011

Struktur Pasar

Oleh : Abdillah Syahroni
AGROEKOTEKNOLOGI A / 0910480004


Struktur Pasar

Kehadiran pasar bertujuan untuk memudahkan pertukaran produk, jasa dan sumber daya. Para pembeli dan para penjual ada di pasar dan mempunyai keinginan untuk membeli atau menjual dengan menawarkan atau menanyakan harga dalam jumlah tententu. Sekalipun suatu transaksi tidak berlangsung, kejadian ini dianggap sebagai penetapan harga produk.
Secara sederhana pasar dapat dikelompokkan menjadi:
1. Menurut segi fisiknya, pasar dapat dibedakan menjadi beberapa macam, di
antaranya:
• pasar tradisional
• pasar raya
• pasar abstrak
• pasar konkrit
• toko swalayan
• toko serba ada, dll
2. Berdasarkan jenis barang yang dijual, pasar dibedakan menjadi beberapa
macam di antaranya:
• pasar ikan
• pasar sayuran
• pasar buah-buahan
• pasar barang elektronik
• pasar barang perhiasan
• pasar bahan bangunan
• bursa efek dan saham
Aktivitas usaha yang dilakukan di pasar pada dasarnya akan melibatkan dua subyek pokok, yaituprodusen dan konsumen. Kedua subyek tersebut masing-masing mempunyai peranan yang sangat besar terhadap pembentukan harga barang di pasar.
Pengertian dari struktur pasar itu sendiri adalah penggolongan produsen kepada beberapa bentuk pasar berdasarkan pada ciri-ciri seperti jenis produk yang dihasilkan, banyaknya perusahaan dalam industri, mudah tidaknya keluar atau masuk ke dalam industri dan peranan iklan dalam kegiatan industri.
Unsur-unsur struktur pasar terdiri atas:
• konsentrasi
• differensiasi produk
• ukuran perusahaan
• hambatan masuk
• integrasi vertikal
• diversifikasi

Struktur Pasar (Market structure) adalah karakteristik fisik dlm lingkungan pasar yg terkait dengan interaksi antara penjual dan produsen produk. Struktur pasar ditetapkan oleh 3 karakteristik yaitu
• Jumlah firms dalam pasar
• Kemudahan masuk (entry) dan keluar (exit)-nya firms
• Derajad keragaman (differentiation) produk
Sedangkan jika diklasifikasikan, struktur pasar terdapat berbagai bentuk yaitu
a) Pasar Bersaing Sempurna/Murni (Perfect Competition)
Perfect Competition adalah suatu struktur pasar dengan karakteristik sebagai berikut
 Banyak firm besar, sehingga tidak ada satupun firm yg dapat mempengaruhi pasar. Pada kondisi ini firms sebagai price takers, mereka tidak mampu mengontrol harga dan mereka hanya beraktivitas pada harga pasar
 Produk serupa, produk seragam, produk umum (generik).
 Easy entry, firm mudah masuk dalam industri.
 Kurve permintaan yang dirasa oleh masing masing firm berbentuk horizontal.

Pasar persaingan sempurna hanyalah sebuah teori yang didasarkan pada 4 asumsi yaitu :
 Ada banyak penjual & pembeli
 Barang & jasa homogen
 Penjual dan pembeli memiliki informasi yang relevant mengenai harga, kualitas produk, sumber penawaran, dan
 Produsen & konsumen bebas keluar masuk pasar

b) Persaingan Tidak Sempurna (Imperfect Competition)
Untuk pasar persaingan tidak sempuna masih dibagi lagi menjadi beberapa struktur pasar yaitu
• Persaingan monopolistik (Monopolistic Competition)
Persaingan monopolistic adalah pasar yang memiliki banyak produsen, dimana mereka bebas keluar masuk pasar dan mendiferensiasi produk mereka. Jenis pasar ini memiliki karakteristik yang berbeda dengan pasar persaingan sempurna yaitu sebagai berikut :
• Terdapat banyak firm
• Mudah masuk dan keluar (Tidak ada hambatan masuk kedalam pasar)
• Produk beragam

• Oligopoli (oligopoly)
Pasar oligopoly ialah suatu structur pasar dimana diantara firm sedikit terjadi saling tergantung (interdependent). Beberapa seringkali menghadapi rintangan masuk (barriers to entry) yang signifikan.
Struktur pasar ini memillki karakteristik sebagai berikut :
o Terdapat Beberapa firm (lebih dari satu firm), beberapa firm tersebut mempengaruhi pasar, tetapi jika sendiri sendiri tidak cukup mempengaruhi pasar.
o Entry lebih sulit, tetapi entry masih bisa terjadi
o Firms yang saling terkait (interdependent), masing-masing firm dipengaruhi oleh yang lain.
o Produk terdeferensiasi
Dari sekian karakteristik tersebut , ada karakteistik kunci yaitu tiap firm dapat mempengaruhi pasar, mengakibatkan pilihan tiap firm tergantung pada pilihan firm yang lain. Oleh karena itu mereka memiliki hubungan saling bergantung satu sama lain.

• Monopoli (monopoly)
Monopoli adalah struktur pasar yang hanya memiliki satu firm didalamya. Masuknya firm lain kedalam pasar tidaklah mungkin. Karena Produsen yang memiliki kekuatan pasar akan menggunakan kekuasaannya untuk menghambat produsen baru untuk masuk ke pasar.
Contoh pasar monopoli antara lain :
 Waralaba pemerintah
 Paten
 Kepemilikan atas faktor produksi yang langka

TUTORIAL - Struktur Pasar

Oleh : Abdillah Syahroni
AGROEKOTEKNOLOGI A / 0910480001
PENDAHULUAN

Struktur Pasar
Pasar adalah suatu tempat atau proses interaksi antara permintaan (pembeli) dan penawaran (penjual) dari suatu barang/jasa tertentu, sehingga akhirnya dapat menetapkan harga keseimbangan (harga pasar) dan jumlah yang diperdagangkan. Jadi setiap proses yang mempertemukan antara pembeli dan penjual, maka akan membentuk harga yang disepakati antara pembeli dan penjual.
Struktur Pasar memiliki pengertian penggolongan produsen kepada beberapa bentuk pasar berdasarkan pada ciri-ciri seperti jenis produk yang dihasilkan, banyaknya perusahaan dalam industri, mudah tidaknya keluar atau masuk ke dalam industri dan peranan iklan dalam kegiatan industri. Pada analisa ekonomi dibedakan menjadi pasar persaingan sempurna dan pasar persaingan tidak sempurna (yang meliputi monopoli, oligopoli, monopolistik dan monopsoni).

Komoditi hortikultura yang terdiri dari tanaman buah-buahan dan sayuran, merupakan komoditi yang sangat prospektif untuk dikembangkan mengingat potensi sumberdaya manusia, ketersediaan teknologi serta potensi serapan pasar yang cukup baik. Pengembangan agribisnis memerlukan dukungan lembaga pelayanan penunjang agribisnis seperti lembaga keuangan, lembaga penyedia sarana pertanian, lembaga penyedia jasa alsintan, informasi pasar, kelembagaan pasar dan sebagainnya (Anonim, 2003). Dalam kaitannya dengan pemasaran, harga produk ditingkat produsen yang berfluktuasi secara tajam tidak menguntungkan bagi petani karena hal itu dapat menyebabkan ketidakpastian penerimaan yang diperoleh dari kegiatan usahataninya. Resiko usaha yang dihadapi petani akan semakin tinggi jika harga produk yang dihadapi semakin berfluktuasi. Fluktuasi harga tersebut pada dasarnya terjadi akibat ketidakseimbangan antara volume permintaan dan penawaran dimana tingkat harga meningkat jika volume permintaan melebihi penawaran, dan sebaliknya. Karena volume permintaan relatif konstan dalam jangka pendek maka fluktuasi harga jangka pendek dapat dikatakan merupakan akibat dari ketidakmampuan produsen dalam mengatur penawarannya yang sesuai dengan kebutuhan permintaan (Hastuti, 2004).
Salah satu karakterisrik komoditi pertanian yang sangat penting dalam mempelajari struktur pasar adalah sifat homogen dan massal. Sifat homogen mengindikasikan bahwa konsumen tidak bisa mengindikasikan sumber-sumber penawaran disubtitusi secara sempurna oleh produsen lainnya. Sifat massal memberikan indikasi bahwa jumlah komoditi pertanian yang dihasilkan seorang produsen dianggap sangat kecil dibandingkan dengan jumlah komoditi total yang dipasarkan., sehingga produsen pertanian secara individual tidak dapat mempengaruhi harga yang berlaku di pasar dan bertindak sebagai penerima harga (price taker).
Terdapat empat karakteristik pasar yang perlu dipertimbangkan dalam menetukan struktur pasar yaitu (1) jumlah dan besar penjual dan pembeli, apakah penjual relatif banyak sehingga tidak terjadi seorang penjual pun yang dapat mempengaruhi harga; (2) keadaan produk yang diperjualbelikan, apakah produk tersebut homogen, berbeda corak ataukah produk tersebut unik sehingga tidak ada penjual lain yang dapat mensubstitusikan produk yang dijual tersebut; (3) kemudahan keluar dan masuk pasar; (4) pengetahuan konsumen terhadap harga dan struktur biaya produksi. Pada umunya karakteristik jumlah penjual dan keadaan komoditi yang diperjualbelikan merupakan karakteristik utama dalam menetukan struktur pasar (Sudiyono, 2001)
STRUKTUR PASAR TANAMAN HORTIKULTURA

Preferensi konsumen dalam membeli produk hortikultura, terutama sayuran dan buah, secara umu lebih tinggi untuk produk segar karena dinilai memliki nilai gizi yang lebih baik. Namun produk hortikultura pada umumnya justru lebih cepat mengalami kebusukan, karena itu setelah dipanen produk hortikultura memerlukan penanganan secara cepat untuk disalurkan pada konsumen. Jika tidak, maka akan terjadi penurunan harga akibat penurunan kesegaran atau mutu produk yang dijual. Oleh karena itulah harga sayuran ditingkat petani sangat fluktuatif dalam jangka waktu yang sangat pendek. Untuk mengurangi resiko penerimaan akibat fluktuasi harga dan kegagalan panen, maka ditingkat petani komoditas sayuran biasanya diusahakan secara tumpang sari. Pola usahatani demikian menyebabkan OPT sayuran lebih beragam, sehingga petani pada umumnya menggunakan pestisida secara intensif yang tentunya akan meningkatkan biaya produksi usahatani.

Contoh kasus harga di tingkat petani dan di tingkat pedagang
Pedagang dari Kupang yang membeli kelapa dan pisang dari pedagang pengumpul desa menikmati keuntungan yang jauh lebih besar daripada yang dinikmati pedagang pengumpul desa tersebut. Dari setiap butir kelapa, pedagang pengumpul desa hanya mendapatkan keuntungan bersih sekitar Rp50, sementara keuntungan yang diterima pedagang dari Kupang bisa mencapai Rp400/butir. Demikian pula dari pisang, pedagang pengumpul desa diperkirakan hanya menerima keuntungan sekitar Rp13.000/tandan, sedangkan pedagang dari Kupang bisa mendapatkan keuntungan lebih dari Rp20.000/tandan.

Pedagang pengumpul desa mengakui bahwa harga jual mereka sangat ditentukan oleh pedagang dari Kupang. Namun, mereka juga tidak berani menjual langsung ke Kupang karena khawatir akan mengalami kesulitan saat menjual. Selain itu, diperlukan biaya dan waktu yang lebih lama. Sementara mereka juga harus segera kembali ke desa untuk melakukan pembelian komoditas yang diusahakannya. Oleh karena itu, walaupun ditawar dengan harga murah, mereka tetap menjual barangnya daripada harus membawanya kembali ke desa.
Perjalanan dari Dusun Misum ke Pasar Oesao ditempuh dalam waktu sekitar dua jam dengan ongkos Rp10.000/orang/satu kali jalan. Sedangkan dari Pasar Oesao ke Pasar Inpres di Kota Kupang hanya sekitar satu jam dengan ongkos Rp5.000/orang/sekali jalan. Kehidupan petani di dusun ini cenderung semakin sulit, harga berbagai komoditas yang diusahakan cenderung turun, sebaliknya harga berbagai kebutuhan pokok di desanya cenderung meningkat. Misalnya, saat ini harga beras dan minyak tanah (untuk penerangan karena aliran listrik sering mati) di desa ini adalah Rp4.500/kg dan Rp3.500/liter, sedangkan di Pasar Oesao harga beras hanya Rp4.000/kg dan harga minyak tanah di Kupang hanya Rp2.500. Untuk memasak masyarakat umumnya menggunakan kayu bakar

Sebagaimana dinyatakan oleh Hutabarat dan Rahmanto (2004), petani-petani hortikultura umumnya tidak memiliki informasi yang memadai tentang keadaan pasar dan teknologi pascapanen dan pengolahnnya untuk menampung kelebihan pasokan sehingga pada saat berikutnya mereka menyesuaikan penyesuain produksi. Hal ini tentunya menjadi peluang bagi pedagang-pedagang apapun bentuknya, untuk menguji kekuatannya. Dengan kekuatan seperti itu mereka dapat menekan harga yang mereka bayarkan kepada petani serendah mungkin, karena petani jumlahnya relatif banyak dan mereka tidak bersatu, sehingga pasarnya tidak bersaing sempurna melainkan bersifat oligopsoni. Ciri-ciri dari pasar ini adalah beranekaragamnya mutu produk dan langkanya informasi lengkap, tetapi ciri yang paling utama yang membedakannya dari bentuk pasar yang lain adalah besarnya proporsi komoditas yang dibeli oleh beberapa pedagang besar. Karena besarnya pedagang sangat sedikit, maka terciptalah keadaan saling tergantungan diantara mereka.
Dari uraian tentang struktur pasar hortikultura secara umum dapat ditunjukkan bahwa struktur pasar ditngkat produsen cenderung oligopsoni dimana terdapat banyak petani yang menjual berbagai macam barang atau komoditas sayuran maupun buah-buahan. Pedagang lebih menguasai informasi mengenai harga, biaya dan kondisi pasar jika dibandingkan dengan petani. Dari keadaan umum struktur pasar hortikultura yang tergambar diatas dapat dikatakan bahwa struktur pasarnya berada dalam pasar persaingan tidak sempurna.
Irawan (2003) menyatakan bahwa pasar produk hortikultura membentuk segmen-segmen pasar spesifik menurut daerah dan kelompok konsumen akibat jenis komoditas dan preferensi konsumen yang beragam. Besarnya volume permintaan pada setiap segmen pasar seharusnya menjadi acuan bagi petani dalam merencanakan jenis komoditas dan banyaknya produksi yang harus dihasilkan menurut kualitasnya. Dengan kata lain informasi tentang segmen pasar yangmenyangkut jenis komoditas, lokasi pasar, volume permintaan dan kualifikasi mutu yang dibutuhkan konsumen sangat diperlukan petani untuk merencanakan produksinya. Namun informasi ini pada umumnya masih sulit diperoleh petani karena belum ada lembaga tertentu yang mengumpulkan dan mensosialisasikannya secara efektif kepada petani.
Analisis elastisitas transmisi harga digunakan untuk mengetahui persentasi perubahan harga ditingkat produsen akibat perubahan harga ditingkat konsumen. Sudiyono (2001) menyatakan bahwa pada umumnya nilai elastisitas transmisi ini lebih kecil daripada satu, artinya volume dan harga input konstan maka perubahan nisbi harga ditingkat pengecer tidak akan melebihi perubahan nisbi harga ditingkat petani. Selain menunjukkan besarnya perubahan harga ditingkat petani dan pengecer, nilai elastisitas transmisi harga juga dapat menyatakan tingkat kompetisi suatu pasar, penampakan atau struktur pasar yang terbentuk.

KESIMPULAN

1. Untuk menghindari fluktuasi harga yang sangat tinggi pada komoditas hortikultura maka informasi pasar tentang segmen pasar yang menyangkut jenis komoditas, lokasi pasar, volume permintaan dan kualifikasi mutu yang dibutuhkan konsumen sangat diperlukan petani untuk merencanakan produksinya. Dengan dukungan teknologi, keterampilan dan sarana pendukung lainnya pedaganglah yang menjadi penentu mutu produk petani. Faktor-faktor ini merupakan indikator kekuatan oligopsoni pedagang. Karena mereka yang menjadi penentu harga produk tersebut, sementara petani hanya menjadi penerima saja.
2. Perlunya membangun jaringan informasi komoditas hortikultura utama dan menyebarluaskannya ke masyarakat yang difasilitasi oleh Pemerintah Daerah, yang mencakup volume produk yang keluar masuk wilayah. Pencatatan dan penyebarluasan informasi harga yang saat ini berjalan perlu ditingkatkan, sehingga minimal meliputi harga pada saat puncak dan lesunya transaksi komoditas setiap hari.

DAFTAR PUSTAKA


Anonim. 2003. Analisis Kebijakan Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian.
Hastuti, E.L. 2004. Kelembagaan Pemasaran dan Kemitraan Komoditi Sayuran. Jurnal Social Ekonomi Pertanian dan Agribisnis. SOCA. Vol. 4. No. 2. Fakultas Pertanian Universitas Udayana. Denpasar. hal 116 – 123.
Sudiyono, A. 2001. Pemasaran Pertanian. Penerbit Universitas Muhammadiyah Malang (UMM Press). Malang. 249 hal.
Hutabarat, B dan B. Rahmanto. 2004.Dimensi Oligopsonistik Pasar Domestik Cabai Merah. Jurnal Social Ekonomi Pertanian dan Agribisnis. SOCA. Vol. 4. No. 1. Fakultas Pertanian Universitas Udayana. Denpasar. hal 45 – 56.
Irawan, B. 2003. Membangun Agribisnis Hortikultura Terintegrasi dengan Basis Kawasan Pasar. Forum Penelitian Agro Ekonomi. Vol 21 No. 1, Juli 2003. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. hal 67 – 82.

TUTORIAL - EKSPLORASI PERAN PEMERINTAH DALAM SUBSIDI PUPUK BAGI PETANI

Oleh : Anggraheni Wahyuningratri
AGROEKOTEKNOLOGI A /0910480017

Sejarah tentang diberlakukannya Subsidi Pupuk dan
Nilai APBN untuk Subsidi Pupuk


Pertambahan penduduk Indonesia yang pesat semenjak kemerdekaan berakibat meningkatnya kebutuhan pangan (terutama beras). Pada mulanya Indonesia sangat tergantung pada beras impor karena produksi dalam negeri tidak mampu mencukupi kebutuhan yang sangat besar. Tetapi dengan berjalannya waktu, mengingat ketahanan pangan merupakan komponen penting dari ketahanan nasional dan melihat potensi sumberdaya pertanian Indonesia yang sangat besar namun belum digarap secara maksimal, pemerintah berketetapan untuk mengurangi sedikit demi sedikit ketergantungan akan beras impor ini dengan harapan suatu saat akan tercapai swasembada pangan.( Hafsah, M.J. dan T. Sudaryanto,2004)
Program peningkatan produksi padi dilaksanakan dengan cara ekstensifikasi dan intensifikasi produksi. Dalam rangka memacu produksi inilah peranan pupuk sangat krusial. Kebutuhan pupuk awalnya pun masih harus dipenuhi dari impor, tetapi karena mengingat gas alam sebagai bahan baku utama pembuatan pupuk tersedia cukup berlimpah di Indonesia, pemerintah memutuskan membangun sendiri pabrik pupuk. Sejarah perpupukan nasional dimulai dengan berdirinya Pupuk Sriwijaya (Pusri) yang dibangun dengan dana rampasan perang Jepang dan mulai berproduksi pada tahun 1963, diikuti oleh Petrokimia Gresik pada 1972, Pupuk Kujang pada 1978, Asean Aceh Fertilizer (AAF, proyek patungan antara negara‐negara ASEAN) pada 1983, serta Pupuk Kaltim (PKT) dan Pupuk Iskandar Muda pada 1984.( Hermanto. 1992)










Pemerintah berpendapat bahwa mengingat arti strategisnya komoditas pupuk, harga pupuk tidak dapat diserahkan begitu saja pada mekanisme pasar, karena fluktuasi harga akan mengakibatkan perubahan daya beli petani, konsentrasi pemupukan, dan pada akhirnya volume dan kualitas panen. Apalagi kenaikan harga pupuk tidak dengan sendirinya diikuti kenaikan harga gabah. Di satu sisi harga pupuk harus dipertahankan cukup rendah agar terjangkau oleh petani, di lain pihak keekonomian produksi pupuk juga harus dijaga agar industri pupuk tidak mengalami kerugian.
Teriepas dari segala kekurangannya, pemerintah Orde Baru memiliki komitmen tinggi membangun sistem agribisnis padi sehingga swasembada beras dapat diraih pada tahun 1984. Keterkaitan tersebut dapat dipandang sebagai prestasi luar biasa karena beranjak dari kondisi sistem agribisnis yang sangat parah dan volume impor terbesar di dunia, serta dalam kondisi permintaan beras domestik meningkat pesat dengan konsekuensi tingginya iaju pertumbuhan penduduk dan tingkat pendapatan per kapita.
Kebijakan subsidi pupuk dibuat Menteri Pertanian periode 2000 – 2004. Kenapa subsidi pupuk itu diberikan? Alasannya, saat itu kita mengalami krisis ekonomi dan moneter, serta krisis pangan. Saat itu kita mengimpor beras sekitar 5 juta ton dan ingin impor berkurang bahkan swasembada. Satu-satunya jalan agar jangan impor beras berarti produksi dalam negeri harus meningkat. Jika produksi dalam negeri ingin ditingkatkan, maka petani harus bergairah dalam berproduksi. Petani akan bergairah jika mendapatkan keuntungan.
Di sisi lain, pada saat itu kita menandatangani Letter of Intent (LoI) dengan IMF yang salah satu poinnya adalah menghilangkan semua hambatan impor. Selain itu, di pasar dunia terjadi excess supply pangan yang mengakibatkan harga pangan dunia rendah sekali sehingga mengimpor sangat menguntungkan apalagi hambatannya dihilangkan.
Pilar keberhasilan tersebut ialah adanya terobosan teknologi dan paket kebijakan komprehensif (Simatupang dan Rusastra, 2004). Pilar pertama adalah momentum perkembangan teknologi Revolusi Hijau yang berada pada fase percepatan pada tahun 1970-an. Pilar kedua ialah paket mega-kebijakan yang mencakup semua elemen penopang agribisnis yaitu "Lima I": sistem inovasi, infrastruktur, investasi, insentif, dan institusi. Namun sejak akhir tahun 1980-an kedua pilar ini mengalami pengurangan. Teknologi revolusi hijau telah menunjukkan gejala stagnasi, sementara paket kebijakan perberasan mengalami dekonstraksi. Usahatani padi telah menunjukkan gejala sindrom overintensifikasi yang menyebabkan perlambatan pertumbuhan hasil dan total faktor produksi.
Ekstensifikasi sawah makin sulit dilakukan dan bahkan di Jawa luas sawah baku cenderung menurun. Akibatnya, Iaju produksi beras menurun dan makin tidak stabil. Hal inilah yang menyebabkan swasembada beras tidak dapat dipertahankan. Sejak awal tahun 1990-an Indonesia kembali menjadi importer beras terbesar di dunia.
Revitalisasi sistem agribisnis merupakan program mendesak guna menstabilkan pertumbuhan produksi beras yang sangat strategis dalam pemantapan swasembada pangan, peningkatan pendapatan petani, dan dinamisasi ekonomi desa. Untuk itu kebijakan pangan nasional perlu direkonstruksi secara komprehensif. Pemerintah perlu memikirkan paket kebijakan pengembangan produksi pangan utama secara komprehensif, dan tidak hanya terbatas pada harga dasar gabah saja.


Kebijakan Subsidi Pupuk
Dinamika kebijakan subsidi pupuk dapat dibedakan menjadi empat tahapan yaitu
- kebijakan subsidi sebelum era pasar bebas,
- kebijakan penghapusan subsidi memasuki pasar bebas,
- kebijakan pemberian kembali subsidi pupuk, dan
- kebijakan subsidi pupuk era pasar bebas.
Dinamika kebijakan dengan tingkat intensitas yang relatif tinggi mengindikasikan ketidak puasan berbagai pihak terkait terhadap rumusan kebijakan, implementasi, dan dampaknya bagi petani dan pembangunan pertanian. Bahasan ini akan membahas secara ringkas kinerja kebijakan tersebut dan mengajukan pola introduksi distribusi pupuk ke depan (Sudaryanto, et.al., 2005).
Bahasan ini akan difokuskan pada kinerja kebijakan subsidi pupuk era pasar bebas yang dipicu oleh adanya peningkatan harga gas sejak tahun 2000 yang akhirnya mendorong pemerintah memberikan kembali subsidi pupuk sejak tahun 2001. Secara ringkas kinerja subsidi pupuk pada periode sebelumnya dapat dinyatakan (Sudaryanto, et.al., 2005) sebagai berikut:
(a) Kinerja subsidi sebelum era pasar bebas: mampu mendorong tercapainya swasembada beras 1984; pengurangan subsidi perlu dikompensasi dengan peningkatan harga produksi; dan peningkatan harga pupuk tidak berpengaruh terhadap penggunaannya, karena proporsinya dalam biaya usahatani masih relatif keci!;
(b) Penghapusan subsidi memasuki era pasar bebas: penghapusan monopoli telah mengefisienkan distribusi pupuk; subsidi pupuk dinilai iebih adil dibandingkan dengan subsidi gas untuk pabrik pupuk;
(c) Kebijakan pemberian kembali subsidi pupuk: format ROSP (Rencana Operasional Subsidi Pupuk) memungkinkan pabrik pupuk memperoleh subsidi langsung dari pemerintah; subsidi untuk pabrik pupuk, dan bukan untuk petani; struktur subsidi hanya menguntungkan pabrk pupuk.

Hasil kajian PSE KP terhadap kinerja subsidi puupk pada era pasar bebas diperoleh beberapa informasi penting (Sudaryanto, et.al., 2005) sebagai berikut:
(a) Konstruksi kebijakan menimbulkan dualisme pasar dan rawan terhadap penyimpangan;
(b) Terjadinya ekspor ilegal karena harga di pasar dunia Iebih menarik;
(c) Pengalihan atau pencabutan subsidi pupuk dapat menimbulkan lonjakan harga pupuk domestik;
(d) Peluang terjadinya kelangkaan pasokan cukup besar sebagai akibat dari kesalahan manajemen;
(e) Subsidi input Iebih mudah dibandingkan subsidi harga output pertanian;
(f) Kebijakan subsidi pupuk dinilai tidak efektif, dan disarankan agar subsidi pupuk dikembalikan lagi kepada petani.

Terdapat beberapa justifikasi kenapa subsidi pupuk Iebih mudah dibandingkan dengan subsidi harga output pertanian, yaitu:
(a) Sebagian besar petani menghadapi kendala biaya produksi dengan orientasi minimisasi biaya, sehingga insentif input Iebih sesuai;
(b) Insentif input Iebih mudah mengakselerasi adopsi teknologi guna meningkatkan produktivitas dibanding insentif output;
(c) Apabila pengelolaan subsidi menggunakan prinsip bergaransi dan profesionalisme, maka penjaminan harga Iebih mudah dicapai pada input dibandingkan output. Pasokan pupuk (terutama Urea) diproduksi di dalam negeri dan harga domestik (subsidi) lebih rendah dari harga internasional. Sementara itu pasokan beras masih membutuhkan dukungan impor, yang harganya jauh lebih rendah dibandingkan harga yang didukung pemerintah (HPP). Dengan keterbatasan kemampuan menangani penyelundupan, maka membatasi rembesan (ke luar) pupuk akan lebih mudah dibandingkan rembesan (ke dalam) beras.

Fakta di lapangan menunjukkan bahwa kebijakan subsidi pupuk pada era pasar bebas ini dinilai tidak efektif untuk membantu petani. Hal ini dibuktikan oleh beberapa fakta berikut ini:
(a) Harga pupuk di tingkat petani jauh di atas harga HET; dan
(b) Pasokan pupuk di tingkat petani seringkali langka karena konskuensi dari dualisme pasar, ekspor pupuk, dan keterbatasan penyaluran oleh pabrik pupuk.
Fenomena langka pasok dan lonjak harga pupuk merupakan kasus menyimpang yang tidak semestinya terjadi. Produksi pupuk urea dalam negeri jauh melebihi kebutuhan dan distribusinya dikendalikan pemerintah. Berdasarkan fenomena di atas PSE-KP secara tegas menyarankan "kembalikan subsidi pupuk kepada petani" (Simatupang, 2004).

Mekanisme Implementasi Kebijakan Harga Dasar dan
Harga Tertinggi serta Kendala yang dihadapi Pemerintah

Beban subsidi ini timbul sebagai konsekuensi dari adanya kebijakan pemerintah dalam rangka penyediaan pupuk bagi petani dengan harga jual pupuk yang lebih rendah dari harga pasar.
Tujuan utama subsidi pupuk adalah agar harga pupuk di tingkat petani dapat tetap terjangkau oleh petani, sehingga dapat mendukung peningkatan produktivitas petani, dan mendukung program ketahanan pangan.
Beban subsidi pupuk dipengaruhi oleh
(1) biaya pengadaan pupuk yang bersubsidi yang merupakan selisih antara harga eceran tertinggi (HET) dengan harga pasar (Rp/kg), dan
(2) cakupan volume (ribu ton) pupuk yang memperoleh subsidi. Khusus untuk urea, HET dipengaruhi oleh masukan bagi produsen pupuk berupa pasokan gas. Karena harga gas diperhitungkan dalam dolar (US$/MMBTU), besaran subsidi urea juga dipengaruhi oleh kurs dolar. Selain HET, harga gas, dan kurs, subsidi pupuk juga dipengaruhi oleh biaya transportasi ke daerah terpencil dan biaya pengawasan. Atau secara matematisnya, Subsidi Pupuk = (HET – Harga Pasar) x Volume + Transportasi + Pengawasan. Besar beban subsidi dapat dinaikkan atau diturunkan dengan cara melakukan penyesuaian terhadap faktor-faktor tersebut di atas. Misalkan, untuk mengurangi beban subsidi pupuk dapat dilakukan dengan cara menaikan HET, akan tetapi karena daya beli petani yang masih rendah kenaikan HET yang terlalu tinggi akan memberatkan petani.
Penyaluran subsidi pupuk melalui beberapa BUMN produsen pupuk. Ada lima BUMN produsen pupuk yang menerima subsidi pupuk urea (PT Pupuk Sriwijaya, PT Pupuk Kalimantan Timur, PT Pupuk Petrokimia Gresik, PT Pupuk Kujang, dan PT Pupuk Iskandar Muda) dan satu BUMN produsen pupuk yang mendapat subsidi pupuk non-urea yaitu PT Pupuk Petrokimia Gresik. Pola pemberian subsidi pada tahun 2006 direncanakan dilakukan melalui pemberian subsidi atas harga gas sebagai bahan baku produksi pupuk, dan diberikan untuk jenis pupuk urea, ZA, SP-36, dan NPK yang diproduksi BUMN produsen pupuk bersubsidi. Perubahan pola dari subsidi gas ke subsidi harga diharapkan akan dapat mencegah kenaikan HET pupuk serta mengatasi persoalan pasokan gas yang sering dialami oleh industri pupuk.
Grafik 10 menyajikan perkembangan subsidi pupuk selama periode 2003-2006 yang menunjukkan bahwa selama tiga tahun terakhir subsidi pupuk mengalami peningkatan. Beban subsidi pupuk 2006 lebih tinggi daripada rata-rata selama tiga tahun (2003-2005) yang sebesar 0,06 persen terhadap PDB.


Kendala Pemerintah

Salah satu faktor yang membuat rumitnya menyampaikan subsidi pupuk langsung sampai ke petani adalah tingkat pendidikan petani sangat rendah. Pola dan cara menyampaikan subsidi pupuk langsung ke petani bermacam-macam, ada yang memakai chip, kartu, membeli pupuk menggunakan ATM kemudian diperhitungkan subsidinya langsung masuk rekening petani, memberikan uang tunai melalui kelompok tani, dan lain lain. Berbagai mekanisme tersebut sulit dan belum mampu dipahami para petani. Walaupun sudah dilakukan studi banding ke beberapa negara, namun karena perbedaan tingkat pendidikan petani, akibatnya meka-nisme pemberian subsidi pupuk langsung kepada petani tetap sulit diterapkan kepada petani di Indonesia.
Misalnya uji coba memberikan subsidi pupuk langsung kepada petani di Kabupaten Karawang berhasil, namun sebelum diberlakukan secara nasional masih perlu dilakukan uji coba lagi di masing-masing provinsi penghasil beras di Jawa dan luar Jawa. Hal itu dimaksudkan agar petani benar-benar memahami mekanisme penyaluran subsidi pupuk langsung ke petani. Karena uji coba di Kabupaten Karawang tidak berhasil, KTNA mengharapkan pemberian subsidi pupuk kepada petani dikembalikan ke sistem lama, sambil menunggu ditemukan cara yang efektif dan tepat sasaran dalam menyampaikan subsidi pupuk langsung kepada petani.
Kebutuhan pupuk ke sektor pertanian tanaman pangan hanya 10% dari biaya produksi. Sehingga petani umumnya tidak tahu bahwa harga pupuk yang dibeli mengandung subsidi. Supaya petani tahu ada pupuksubsidi dan non-subsidi, hendaknya kios resmi penjual pupuk bersubsidi harus dibedakan dengan kios penjual pupuk non-subsidi. Kios-kios penjual pupuk di kawasan pertanian tanaman pangan seharusnya semuanya adalah kios yang menjual pupuk bersubsidi. Sedangkan pupuk non-subsidi harus dijual pada kios-kios di daerah perkebunan. (Simatupang, P. dan I W. Rusastra. 2004)
Kendala lain yang dihadapi dalam memberikan subsidi pupuk langsung kepada petani terletak pada masalah kurangnya sosialisasi kepada petani. Kios-kios milik distributor dan pengecer resmi yang menyalurkan pupuk bersubsidi dari pabrik pupuk tertentu harus diberi warna cat berbeda dengan kios-kios milik distributor dan pengecer resmi pupuk bersubsidi dari pabrik pupuk yang lain. Bisa dicontoh tempat pengisian BBM milik Pertamina warna catnya berbeda dengan pengisian BBM milik swasta asing. Seharusnya kios-kios milik distributor dan pengecer resmi pupuk bersubsidi yang menyalurkan produksi pabrik pupuk tertentu juga menggunakan warna/cat berbeda dibanding kios-kios milik distribute dan pengecer resmi pabrik pupukyang lain. Dengan demikian masyarakat dan petani mudah mengontrol apabila kios-kios pengecer resmi tersebut menjual pupuk bersubsidi di atas HET (Harga Eceran Tertinggi).
Dari sisi pabrik pupuk, mekanisme pemberian subsidi pupuk langsung ke petani lebih bagus, karena pabrik pupuk tidak repot-repot mengurus mencairkan subsidi pupuk ke pemerintah. Sering pabrik pupuk menghadapi kendala keterlambatan pencairan subsidi pupuk dalam waktu cukup lama, sehingga mengganggu cash-flow perusahaan. (Waluyo dan A. Djauhari. 1992)

Daftar Pustaka

Hafsah, M.J. dan T. Sudaryanto. 2004. Sejarah Intensifikasi Padi dan Prospek Pengembangannya. Ekonomi Padi dan Beras Indonesia. (Ed. F. Kasryno, et.ai., 2004). Badan Litbang Pertanian, Jakarta.
Hermanto. 1992. Keragaan Penyaluran Kredit Pertanian: Suatu Analisis Data Makro. Perkembangan Perkreditan Pertanian di Indonesia (Ed. A.H. Taryoto, 1992). Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.
Nurmanaf, A.R., I W. Rusastra, V. Darwis, Y. Marisa, dan J. Situmorang. 2003. Evaluasi Sistem Distribusi Benih dan Pupuk dalam Mendukung Ketersediaan dan Stabilisasi Harga di Tingkat Petani. Pusat Litbang Sosek Pertanian, Bogor.
PSEKP. 2005. Justifikasi Subsidi Benih. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Badan Litbang Pertanian, Bogor.
Simatupang, P. dan I W. Rusastra. 2004. Kebijakan Ekonomi Perberasan Nasional. Ekonomi Padi dan Beras Indonesia. (Ed. F. Kasryno, et.al., 2004). Badan Litbang Pertanian, Jakarta.
Simatupang, P. 2004. Kembalikan Subsidi Pupuk kepada Petani. Kompas, 19 Mei 2004. Jakarta.
Soentoro, Supriyati, dan E. Jama!. 1992. Sejarah Perkreditan Subsektor Tanaman Pangan. Perkembangan Perkreditan Pertanian di Indonesia (Ed. A.H. Taryoto, 1992). Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.
Sudaryanto, T., N. Syafa'at, K. Kariyasa, Syahyuti, Azhari, dan M. Maulana. 2005. Pandangan Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Terhadap Kinerja Kebijakan Subsidi Pupuk Selama Ini dan Perbaikannya Ke Depan. PSEKP, Badan Litbang Pertanian, Bogor.
Sumaryanto. 1992. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keputusan Petani untuk Meminjam Kredit Usahatani. Perkembangan Perkreditan Pertanian di Indonesia (Ed. A.H. Taryoto, 1992). Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.
Waluyo dan A. Djauhari. 1992. Kendala Penyaluran dan Pengembalian Kredit Usahatani. Perkembangan Perkreditan Pertanian di Indonesia (Ed. A.H. Taryoto, 1992). Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.

TUTORIAL - KARAKTERISTIK PRODUK PERTANIAN DILIHAT DARI ASPEK PERMINTAAN DAN PENAWARAN

Oleh : Aulya Retno Setyari
AGROEKOTEKNOLOGI A/ 0910480023

PENDAHULUAN

Zaman sekarang produk pertanian telah marak beredar di Negara kita ini ,mulai dari barang mentah sampai dengan barang olahan ,keberadaan produk pertanian sangat mutlak diperlukan sekarang.
Keberadaan produk pertanian ini dipengaruhi oleh berbagai factor ,diantaranya dari segi permintaan dan penawaran. Produksi pertanian dapat disarikan dalam beberapa sifat dan ciri sebagai berikut :
1. Voluminos and bulky
a) Perlu ruang dan biaya penyimpanan yang relatif besar
b) Biaya pengangkutan mahal
c) Harga produk relatif sangat kecil dibandingkan dengan volumenya
d) Biaya total pemasarannya sering kali jauh lebih besar secara proposional dibandingkan dengan biaya produksinya
2. Penawaran produknya relatif kecil
a) Secara perorangan petani pada umumnya merupakan supplier kecil yang tidak memiliki posisi tawar dalam menentukan harga
b) Penetapan harga umumnya dikuasai oleh pelaku pasar lain
3. Mudah rusak/perishable
a) Produk hasil pertanian dikenal tidak tahan lama dan sangat mudah rusak
b) Penyebab dari kerusakan antara lain rendahnya kualitas penanganan pasca panen, kandungan air yang relatif tinggi, dan factor-faktor lain yang lekat dengan karakteristik biologis dan fisiologis produk agronomi itu sendiri
c) Kualitas produk cenderung tidak seragam baik dari ukuran, tingkat kematangan, dan lain-lain.
4. Ketergantungan pada alam
a) Produk hasil pertanian bersifat spesifik dalam kaitannya dengan factor klimatologi
b) Seluruh aspek alamiah memberikan pengaruh yang signifikan terhadap produk hasil pertanian
c) Produk tertentu hanya dapat ditanam pada kondisi alam tertentu dan dipanen hanya di musim-musim tertentu
d) Perubahan kondisi alam di luar kecenderungan alamiahnya akan berakibat pada kegagalan panen
e) Produk terpusat di daerah tertentu, dalam hal ini kaitannya dengan distribusi
5. Bersifat musiman
a) Ketersediaan produk hasil pertanian bersifat musiman, artinya saat panen produk tersedia di pasar dalam jumlah melimpah sebaliknya sebelum dan sesudah panen terjadi kelangkaan pasokan di pasar
b) Menciptakan struktur harga pasar yang tidak menguntungkan bagi produk hasil pertanian, kaitannya dengan hokum permintaan dan penawaran (harga turun bila terjadi kelebihan pasokan dan harga naik bila terjadi kekurangan pasokan produk di pasaran)
6. Memiliki banyak produk subtitusi
a) Produk hasil pertanian bersifat subtitusi satu sama lain dimana kebutuhan akan satu jenis produk hasil pertanian jika tidak tersedia maka dapat digantikan dengan jenis produk agronomi yang lain
b) Produk hasil pertanian baik sebagai produk yang langsung dikonsumsi maupun sebagai input produksi










KARAKTERISTIK MASING-MASING PRODUK PERTANIAN

KARAKTERISTIK PRODUK PERTANIAN SKALA KECIL :
A. Karakteristik produk ditinjau dari proses produksinya :
1. Produk musiman
2. Produk yang dihasilkan melalui proses biologis tumbuhan
3. Produk yang dihasilkan sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan pada saat itu
B. Karakteristik produk ditinjau dari handling product :
1. Perlakuan pascapanennya untuk meningkatkan nilai tambah sangat minim dilakukan
2. Kehilangan hasil saat panen relatif besar
3. Produk mudah rusak (perishibel) dan memakan tempat.
C. Karakteristik produk ditinjau dari pemasaran produk :
1. Harga produk relatif murah _ produsen sebagai price taker dan efek dari asimetri informasi, bargainning potition yang rendah di produsen
2. Fluktuasi harga relatif tajam
3. Produk bersifat generik _ memasuki pasar yang cenderung bersifat monopsoni atau oligopsoni
4. Jumlah produk yang dipasarkan pada umumnya tidak memenuhi skala ekonomi (jumlah relatif kecil)
5. Produk melalui rantai pemasaran yang relatif panjang untuk sampai pada konsumen
6. Pada umumnya produk tidak mengalami perubahan bentuk
7. Resiko pemasaran relatif tinggi karena fluktuasi harga dan sifat mudah rusaknya produk pertanian
8. Elastisitas harga produk relatif lebih rendah











KARAKTERISTIK PRODUK PERTANIAN SKALA BESAR :
A. Karakteristik produk ditinjau dari proses produksinya :
1. Produk musiman
2. Produk yang dihasilkan melalui proses biologis tumbuhan
3. Produk yang dihasilkan dipengaruhi oleh teknologi yang meminimalisir pengaruh lingkungan


B. Kharakteristik produk ditinjau dari handling product :
1. Perlakuan pasca panennya dalam rangka menjaga kualitas produk dan menghasilkan nilai tambah (added value)
2. Kehilangan hasil saat panen relatif lebih kecil
3. Produk mudah rusak (perishibel) dan memakan tempat

C. Karakteristik produk ditinjau dari pemasaran produk :
1. Harga produk relatif lebih mahal _ produsen memiliki bargainning potition yang lebih tinggi dan memiliki kemampuan mengakses pasar konsumen
2. Fluktuasi harga relatif relatif lebih rendah karena kemampuan mendistribusikan produk dan melihat peluang pasar _ ada perencanaan produksi
3. Produk terstandarisasi dan melalui serangkaian proses pemberian atribut produk untuk menciptakan nilai tambah dan positioning produk
4. Jumlah produk yang dipasarkan pada umumnya memenuhi skala ekonomi (jumlah relatif besar) dan melalui perencanaan pemasaran yang lebih baik (marketing plan)
5. Produk untuk sampai pada konsumen tidak melalui rantai pemasaran yang panjang bahkan cenderung dari titik produsen langsung ke pasar dilakukan oleh produsen sendiri
6. Unit pengolahan hasil (agroindustri) dan produksi sangat dekat sehingga sangat dimungkinkan adanya perubahan bentuk dan atau perubahan struktur kimia produk atas pengolahan yang dilakukan
7. Respon atas perubahan pasar relatif lebih cepat dan mempertimbangkan mekanisme pengalihan resiko
8. Elastisitas harga produk relatif lebih tinggi



Teori Penawaran dan Permintaan pada Pertanian
Ekonomi pertanian merupakan ilmu sosial (kemasyarakatan) yang penting ditinjau dari kemanfaatannya, area disiplinnya dan hubungannya dengan disiplin ilmu lainnya. Masalah ekonomi pertanian yang pokok bersumber pada kebutuhan manusia yang tidak terbatas akan produk-produk pertanian, sedangkan sumber daya (faktor produksi) pertanian yang digunakan untuk menghasilkan produk-produk pertanian tersebut bersifat terbatas (langka).
Ruang lingkup disiplin ekonomi pertanian sangat luas, yang secara garis besar dapat diklasifikasikan menjadi kegiatan berproduksi, konsumsi, pemasaran dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Ekonomi pertanian sebagai ilmu kemasyarakatan tidak dapat berdiri sendiri melainkan memerlukan ilmu-ilmu lain sebagai alat untuk menganalisis, menginterpretasikan dan menghubung-hubungkan persoalan-persoalan di bidang pertanian baik mikro maupun makro. Ilmu-ilmu lain yang dimaksud dapat bersumber pada bidang ilmu pertanian maupun bidang ilmu ekonomi.
Penerapan prinsip-prinsip ekonomi di bidang pertanian memerlukan beberapa pendekatan, antara lain pendekatan deduktif-induktif, mikro-makro, konsumsi-produksi, positif-normatif. Organisasi di bidang pertanian mulai dari perusahaan berskala kecil sampai perusahaan berskala besar dapat memiliki bentuk yang beraneka ragam seperti perusahaan swasta milik perorangan dan perusahaan swasta milik keluarga, perusahaan berbadan hukum milik pemerintah dan perusahaan berbadan hukum milik swasta, koperasi milik petani dan koperasi milik konsumen. Pengalokasian input yang dibutuhkan sektor pertanian dan output (produk) pertanian yang dibutuhkan konsumen dapat melalui organisasi-organisasi pertanian yang membentuk saluran pemasaran bagi produk pertanian yang bersangkutan. Saluran pemasaran dapat berbeda-beda untuk produk yang sama maupun untuk produk yang berbeda.
Pertanian memegang peranan yang penting dalam pembangunan sektor pertanian maupun sektor non-pertanian. Pembangunan perekonomian negara-negara yang berbasis pertanian tetapi mengabaikan sektor pertanian dalam proses pembangunannya akan dapat mengalami stagnasi ekonomi. Karena selain memberikan kontribusi dalam pengembangan pangan, tenaga kerja dan modal dalam sektornya sendiri, sektor pertanian juga menyediakan pasar bagi barang dan jasa yang dihasilkan oleh sektor non-pertanian







PERMINTAAN
Permintaan adalah ungkapan keinginan dan kemampuan seorang pembeli untuk memperoleh jumlah tertentu dari suatu barang dalam berbagai kemungkinan harga yang pembeli mungkin dapat tawarkan. Permintaan dapat dianggap sebagai suatu daftar harga dan jumlah dalam pikiran pembeli.
Penyalur di Pasar Bursa selalu memegang sebuah buku di mana setiap pesanan dari berbagai nasabah dimasukkan ke buku itu: berapa banyak saham dan berapa harganya. Daftar seperti itu adalah suatu gambaran dari apa yang investor inginkan dan apa yang mampu dibeli.

1.1 HUKUM PERMINTAAN

Hukum permintaan menyatakan bahwa hubungan antar harga dan jumlah yang ada di dalam pikiran para pembeli selalu berbanding terbalik. Hukum permintaan memberikan gambaran seperti suatu kurva terbuka ke bawah. Hukum permintaan dapat dijelaskan dengan menyusutnya manfaat marginal, pengaruh pendapatan dan pengaruh penggantian; hal itu juga dapat dilihat dengan bantuan kurva indiferensi.

Sebuah toko eceran pasti sangat tertarik untuk mengetahui hal apa yang diinginkan pelanggannya sehingga pelanggan tersebut bersedia membayar untuk membeli hal itu. Pengetahuan seperti itulah yang akan membantu toko itu untuk menentukan harga produknya dengan efisien. Ini adalah alasan utama mengapa penelitian pasar dilaksanakan, yaitu untuk menentukan apa yang pelanggan ingin beli dan berapa harganya yang diinginkan pelanggan.

1.2 PERTIMBANGAN HUKUM PERMINTAAN

Hukum permintaan dipengaruhi oleh:
- harga sebagai rintangan untuk mengkonsumsi
- penyusutan manfaat marginal,
- pengaruh perubahan pendapatan dan pengaruh penggantian.

Hal ini juga disebabkan oleh penyusutan penggantian tingkat marginal pada kurva indiferensi Semua toko serba ada mempunyai satu hari secara berkala dimana harga akan dikurangi. Tujuan pengurangan harga ini adalah untuk meningkatkan permintaan pada barang lama dan merangsang pelanggan untuk membeli (yang mungkin akan membeli banyak barang lain juga). Oleh karena itu, toko sebenarnya mengambil keuntungan dari hukum permintaan: barang dagangan yang biasanya susah untuk dijual, bisa laku karena pelanggan selalu ingin membayar yang lebih murah.

1.3 HAL-HAL YANG MEMPENGARUHI HUKUM PERMINTAAN

PENGARUH PENDAPATAN

Pada hukum permintaan dapat dijelaskan dengan mengamati bahwa perubahan harga secara mendadak akan mempengaruhi daya beli konsumen. Jika harga menjadi lebih rendah dari diharapkan, dana yang tersisa itu akan menyebabkan konsumen dapat membeli lebih banyak. Suatu peningkatan harga secara mendadak akan menyebabkan konsumen untuk membeli lebih sedikit.

Ketika seorang ibu rumah tangga pergi ke supermarket untuk membeli bahan makanan dan menemukan produk yang ingin dibeli telah turun harganya karena suatu penjualan khusus, hal itu akan membuat ia merasa lebih kaya. Tentu saja, dia dapat membeli lebih banyak dengan uang yang ada di tangannya. Ini yang dimaksud dengan pengaruh pendapatan.


PENGARUH SUBTITUSI (PENGGANTIAN)
Hukum permintaan dapat juga dijelaskan oleh pengaruh subtitusi (penggantian). Jika harga suatu barang lebih rendah dari yang diperkirakan,maka konsumen akan melihat adanya kesempatan tawar-menawar dengan memperbandingkannya dengan barang yang masih memiliki harga penuh. Konsumen untuk sementara waktu akan merubah pola konsumsinya dengan menggantikan barang yang masih memiliki harga penuh.
Andaikan ada seorang pelanggan yang masih ragu-ragu antara membeli potongan daging babi atau potongan daging sapi sebelum memasuki sebuah supermarket. Jika kemudian potongan daging babi mempunyai suatu promosi khusus dengan diturunkannya harga, sedangkan harga potongan daging sapi tidak berubah, maka hal itu mungkin akan mempengaruhi pelanggan untuk membeli potongan daging babi tanpa ada keraguan. Ini adalah suatu ilustrasi efek subtitusi (penggantian).


1.4 PERMINTAAN PASAR
Permintaan pasar adalah jumlah total permintaan individu.

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERMINTAAN
Harga merupakan faktor penentu utama dari jumlah permintaan. Faktor penentu permintaan selain harga adalah:
- jumlah pembeli,
- cita rasa,
- pendapatan,
- harga barang-barang lain (baik barang pelengkap maupun barang pengganti), dan
- perkiraan harga ke depan.
Iklan dari suatu perusahaan memperlihatkan bahwa sebenarnya pelanggan itu masih dapat diarahkan untuk membeli produk dengan berbagai alasan. Rangsangan yang paling disukai masihlah harga.

HARGA BARANG-BARANG TERKAIT
Harga barang-barang terkait juga akan mempengaruhi permintaan dari suatu barang dengan dua pola yang saling bertentangan, tergantung apakah barang-barang tersebut dianggap oleh pembeli sebagai barang pelengkap atau pengganti.

BARANG-BARANG PELENGKAP
Suatu barang dianggap sebagai pelengkap jika konsumsi barang tersebut terkait satu sama lain. Sebagai contoh, mobil dan ban: ban ada dijual sebab ada mobil dijual dan demikian pula sebaliknya. Peningkatan harga mobil akan menyebabkan berkurangnya mobil yang dibeli, dan demikian juga jadinya nanti dengan ban. Hubungan antara harga mobil dan jumlah permintaan ban adalah berbanding terbalik. Ban dan mobil, peluru dan meriam, lampu dan kap lampu, krim dan kopi, paku dan palu, kacang dan kayu, adalah jenis barang yang saling berkaitan. Barang-barang ini disebut barang pelengkap.

BARANG-BARANG PENGGANTI
Barang-barang pengganti adalah barang-barang yang di pikiran konsumen dapat digantikan oleh barang lain. Sebagai contoh, teh dan kopi untuk banyak (walaupun tidak semua) konsumen adalah barang-barang yang dapat bertukar tempat. Jika harga teh naik, pembelian teh akan berkurang dan pembelian kopi akan meningkat. Dengan demikian, hubungan antara harga teh dan jumlah permintaan kopi adalah berbanding lurus. Mentega dan margarin, teh dan kopi, taksi dan bus, pena dan pensil, hotel dan motel, radio dan gramofon, adalah semua barang yang bagi kebanyakan orang, dapat saling menggantikan. Barang-barang itu disebut sebagai barang-barang pengganti.


JUMLAH PERMINTAAN
Suatu perubahan pada faktor penentu bukan harga akan menyebabkan keseluruhan permintaan konsumen berubah. Gambaran ini dapat dinyatakan sebagai suatu pergeseran kurva permintaan ke sebelah kanan atau ke kiri. Pergeseran permintaan ini harus dibedakan dari pergerakan sepanjang kurva permintaan yang disebabkan oleh perubahan harga: perubahan harga hanya akan menyebabkan perubahan jumlah permintaan, tetapi secara keseluruhan daftar permintaan tetap sama.
Ketersediaan barang baru dapat mengubah cita rasa konsumen. Dulu, perhitungan rumit dilakukan dengan menggunakan alat penghitung. Dengan adanya kalkulator tangan, penggunaan alat penghitung tidak lagi disukai oleh pelanggan.




PENAWARAN
Penawaran adalah keinginan dan kemampuan para penjual atau penyalur untuk menawarkan berbagai jumlah barang dalam suatu relevansi harga. Penawaran adalah apa yang kita harus tawarkan. Kita semua mempunyai ketrampilan dan waktu untuk ditawarkan kepada penyedia kerja kita. Bagi sebagian dari kita, banyaknya jumlah jam kerja boleh saja berubah dari hari ke hari atau dari minggu ke minggu. Tetapi, yang paling sering adalah, jika tambahan jam kerja diperlukan untuk bekerja, maka kita akan mengharapkan adanya harga lebih, misalnya, dengan uang lembur.


1.1 HUKUM PENAWARAN
Hukum penawaran menyatakan hubungan antara harga dan jumlah penawaran di dalam pikiran para penjual atau produsen adalah berbanding lurus. Kapan terjadi peningkatan harga maka demikian juga dengan jumlah penawaran.
Pembayaran uang lembur menunjukkan bahwa jika seseorang diharapkan untuk ditawar, maka seseorang dapat mengharapkan untuk dibayar lebih. Dalam beberapa profesi, jam kerja tambahan di luar jam lembur biasa akan dibayar pada jumlah yang jauh lebih tinggi.

1.2 PERTIMBANGAN HUKUM PENAWARAN
Hukum penawaran dijelaskan oleh
- harga dapat menjadi rangsangan untuk para penjual atau produsen untuk menjual lebih banyak, dan
- biaya produksi yang meningkat (oleh karena hukum mengurangi pengembalian).

1.3 FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENAWARAN
Harga adalah faktor penentu yang utama. Faktor lain selain harga adalah:
- jumlah para penjual atau produsen,
- biaya-biaya produksi (termasuk pajak),
- teknologi (karena itu mempengaruhi biaya produksi),
- harga dari yang lain barang-barang (sebagai sumber dari kemungkinan keuntungan),
- perkiraan harga (tetapi pengaruhnya masih meragukan).
Kembali ke karyawan yang memberikan tambahan jam kerja, kesediaan karyawan untuk menerima perubahan rencana kerja mungkin saja tergantung dengan waktu yang diberikannya untuk kebutuhan lain (seperti bersantai, keluarga, hobi atau belajar). Meskipun demikian, faktor penentu yang utama adalah harga atau upah yang diharapkan.

1.4 HAL-HAL YANG MEMPENGARUHI HUKUM PENAWARAN

JUMLAH PENAWARAN
Adanya perubahan pada faktor selain harga pada penawaran itu akan mengubah keseluruhan daftar penawaran dan akan menggeser kurva penawaran. Pergeseran kurva penawaran ini disebabkan oleh pergerakan sepanjang kurva penawaran itu sendiri ketika harga berubah: tetapi hal ini hanya mengubah jumlah yang ditawarkan (bukan penawaran).

KESEIMBANGAN
Keseimbangan antara harga dan jumlah penawaran adalah jika permintaan dan penawaran saling menutupi. Berapapun harganya di atas keseimbangan, jumlah barang yang disediakan akan melebihi jumlah permintaan,dan akan menghasilkan kelebihan jumlah barang (juga tidak ada transaksi antara pembeli dan penjual). Sedangkan pada saat harga berada di bawah nilai keseimbangan, jumlah permintaan akan melebihi jumlah barang yang ditawarkan, sehingga hasilnya adalah kurangnya jumlah persediaan barang. Hanya dengan mempertemukannya akan terjadi jumlah permintaan dan jumlah penawaran yang setara. Dengan demikian harga dan nilai keseimbangan akan stabil.

KEKURANGAN PERSEDIAAN
Kekurangan persediaan berarti bahwa jumlah permintaan melebihi jumlah penawaran. Kekurangan persediaan akan terjadi jika harga berada di bawah nilai keseimbangan. Pada pasar bebas, kekurangan persediaan akan menghilang dengan terjadinya peningkatan harga. Kekurangan persediaan akan berlanjut terus selama pasar tidak bebas; sebagai contoh, jika pemerintah telah mementukan suatu plafon harga. Jika plafon harga di atas nilai keseimbangan, harga itu menjadi tidak relevan dan tidak bisa dipergunakan di pasar.
Banyak kota besar mempunyai hukum aturan sewa agar supaya orang-orang yang miskin dapat menemukan tempat tinggal yang mereka perlukan. Tetapi karena pemilik tanah tidak mendapatkan keuntungan dengan harga ini maka biasanya ia merubah bangunan mereka menjadi kondominium atau kepemilikan kerjasama. Hal ini akan mengurangi jumlah tempat tinggal yang tersedia: akhirnya akan menciptakan suatu kekurangan tempat tinggal.

KELEBIHAN PERSEDIAAN
Kelebihan persediaan berarti bahwa jumlah penawaran melebihi jumlah permintaan. Kelebihan persediaan hanya ada jika harga di atas nilai keseimbangan. Jika pasar bebas, kelebihan persediaan akan cenderung menghilang dengan diturunkannya harga. Kelebihan persediaan akan terus berlanjut jika pasar tidak bebas; dimana, suatu harga minimum telah ditetapkan oleh pemerintah. Jika harga minimum itu berada di bawah nilai keseimbangan, harga menjadi tidak relevan dan tidak bisa dipergunakan di pasar.
Harga dari banyak barang pertanian, seperti susu misalnya, selalu tunduk kepada harga yang ditentukan oleh pemerintah. Harga yang lebih tinggi ini mendorong petani untuk menghasilkan susu dalam jumlah yang banyak: hal ini akhirnya menciptakan kelebihan persediaan. Sebagai contoh, pada tahun 1980an, pemerintah terpaksa membuat keju dari kelebihan persediaan susu dan mendistribusikan keju itu dengan gratis ke orang-orang miskin.
1.5 Hal Yang Mempengaruhi Elastisitas Penawaran
Faktor-faktor terpenting yang mempengaruhi elastisitas penawaran adalah waktu yang diperlukan untuk menyesuaikan produksi dengan perubahan permintaan masyarakat, dan biaya produksi kalau produksi diperbesar atau diperkecil. Misalnya, seorang petani yang membawa basil kebunnya ke pasar untuk dijual (sayuran, buah-buahan, bunga). Penawarannya akan inelastis. Mengapa? Kalau harga di pasar lebih tinggi daripada yang diharapkannya, ia tidak segera akan dapat menawarkan lebih banyak karna harus menunggu musim berikut. Dan kalau harga lebih rendah daripada yang diharapkan, ia tetap akan menjual seluruh persediaannya karna barang-barang ini tidak dapat disimpan lama. Umumnya penawaran hasil-hasil pertanian bersifat inelastis.
Waktu yang diperlukan untuk menyesuaikan jumlah yang ditawarkan (Qs) dengan perubahan harga dapat dibedakan:
A. Jangka waktu sangat pendek
Dalam waktu satu/beberapa hari saja semua input tetap: oleh karena itu, para produsen/penjual tidak dapat segera menambah jumlah yang ditawarkan, meskipun konsumen bersedia membayar harga yang tinggi. Jumlah barang yang ditawarkan tergantung dari banyaknya persediaan yang ada pada saat itu. Maka, dalam jangka waktu sangat pendek penawaran bersifat inelastis.
B. Jangka pendek
Diartikan jangka waktu yang cukup untuk memungkinkan para produsen menambah jumlah produksinya dengan jalan menambah input variabel (dengan bekerja lebih keras/lama, mempergunakan lebih banyak bahan, dsb.), tetapi tidak cukup lama untuk memperbesar kapasitas produksi yang ada (areal pertanian, modal tetap seperti bangunan pabrik, mesin-mesin, dll).
Dalam keadaan demikian penawaran dapat elastis, dapat juga inelastis, tergantung jenis barang dan proses produksinya. Kalau memperbesar produksi menyebabkan biaya naik dengan cepat, make S akan inelastic. Tetapi kalau biaya produksi hampir tidak naik dengan pertambahan produksi, S akan bersifat elastis. Umumnya, hasil pertanian suplainya inelastic, sedang hasil pabrik lebih elastis.


C. Jangka panjang
Diartikan jangka waktu yang cukup lama hingga para produsen dapat menambah kapasitas produksi dengan menambah modal tetap (pabrik baru, mesin-mesin, perluasan areal pertanian, dsb) untuk menyesuaikan produksi dengan permintaan masyarakat. Makin lama jangka waktu, makin elastis penawaran.
Dalam jangka panjang, perkembangan teknik produksi di sektor industri dan produksi secara besar-besaran malah dapat menyebabkan harga turun, sehingga barang¬barang yang dulu dipandang barang mewah dan mahal menjadi barang kebutuhan biaya yang terbeli juga oleh orang banyak (misalnya, radio transistor, kalkulator, dsb).
D. Daya tahan produk
Produk-produk hasil pertanian, seperti sayuran dan buah-buahan yang mudah busuk, pecah, dan layu sehingga penawarannya cenderung inelastis. Akan tetapi, produk-produk dengan daya tahan lebih lama, seperti kulkas, mesin jahit, dan kompor gas, cenderung lebih elastis.
E. Kapasitas produksi
Industri yang beroperasi di bawah kapasitas optimal cenderung membuat kurva penawaran elastis.








KESIMPULAN

Barang/jasa tertentu tidak memiliki elastisitas yang sama. Faktor yang memengaruhinya adalah sebagai berikut :
1. Ketersediaan barang subtitusi atas suatu barang dan juga semakin tinggi tingkat kemampuannya mensubtitusi maka permintaan barang tersebut semakin elastis.
2. Intensitas kebutuhan (desakan kebutuhan)
Kebutuhan pokok bersifat inelastis, artinya semakin penting kebutuhan pokok itu semakin inelastis permintaannya. Artinya, meskipun harga naik, masyarakat tetap membutuhkan dan tetap membelinya. Sebaliknya, barang mewah lebih bersifat elastis karena tidak mesti diperlukan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan pembelinya dapat ditunda dan jumlah pembeli banyak seandainya harga turun.
3. Pendapatan konsumen
Jika pendapatan konsumen relatif besar dibandingkan dengan harga barang, permintaan akan inelastis. Sebaliknya, konsumen yang berpendapatan kecil dengan terjadinya perubahan harga sedikit saja akan memengaruhi permintannya terhadap barang sehingga permintaan bersifat elastis.
4. Tradisi
Barang yang sudah menjadi kebiasaan (tradisi) untuk dipergunakan, barang tersebut harganya akan naik. Orang akan tetap membelinya sehingga untuk barang ini permintaannya cenderung elastis.








DAFTAR PUSTAKA

Azis, A. 1992. Siapa dan Bagaimana Menggarap Agroindustri. Makalah pada
seminar Nasional Agroindustri III. Desember 1992. Yogyakarta.
Badan Agribisnis. 1997. Rencana Strategis Badan Agribisnis Repelita VII. Badan
Agribisnis Departemen Pertanian Republik Indonesia. Jakarta.
Baharsyah, S. 1993. Pendayagunaan Sumberdaya Manusia, IPTEK dan Faktor
Penunjang lainnya dalam Pengembangan Agroindustri. Makalah pada
Lokakarya dan seminar Pengembangan Agroindustri. Jakarta.
Ditjen Perkebunan. 1999. Statistik Perkebunan, Berbagai Komoditas Perkebunan.
Jakarta.
Jafar Hafsah, M. 2002. Bisnis Gula di Indonesia. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta.

TUTORIAL - MENGIDENTIFIKASI KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM TATA NIAGA PERKEBUNAN SAWIT di INDONESIA

Oleh :Adhytya Cahya Darmawan
AGROEKOTEKNOLOGI A /0910480004

PENDAHULUAN

Dengan potensi sumber daya alamnya, Indonesia dikenal sebagai produsen utama komoditas dari tanaman tropis, yaitu tanaman perkebunan seperti karet, kopi, kelapa sawit, kelapa, kakao, teh, lada dan lainlainnya yang sebagian besar diekspor. Indonesia saat ini dikenal sebagai salah satu produsen dan pengekspor utama dunia untuk komoditas-komoditas perkebunan tersebut. Pada sektor pertanian, sub sektor perkebunan memainkan peran penting melalui kontribusinya dalam penerimaan ekspor, disamping kontribusi lainnya.
Terlepas dari kontribusi positif dalam penerimaan ekspor, total nilai ekspor yang berasal dari produk perkebunan masih berpotensi untuk dapat ditingkatkan lagi. Dalam kebijakan pembangunan industri dan perdagangan nasional (2005-2009) dinyatakan bahwa kontribusi ekspor hasil pertanian hanya 4% dari total nilai ekspor Indonesia (Departemen Perdagangan, 2005). Seperti diketahui, komoditas pertanian terutama komoditas utama perkebunan memiliki potensi untuk berkontribusi lebih tinggi dalam penerimaan ekspor.
Masalah bisnis ekspor komoditas perkebunan, termasuk minyak sawit, diperkirakan beraitan erat dengan biaya operasional, pasar/pemasaran dan sarana penunjang (Departemen Perdagangan, 2005). Masalah ekonomi biaya tinggi di Indonesia diperkirakan menimbulkan masalah efisiensi usaha bagi pengekspor komoditas perkebunan, termasuk minyak sawit. Selain kondisi masalah internal pengekspor, berbagai kebijakan pemerintah diperkirakan ikut berkontribusi terhadap masalah biaya operasional pengekspor.
Departemen Perdagangan (2005) juga menyatakan bahwa masalah sarana penunjang merupakan masalah yang tak kalah penting dalam upaya menjadi pemasok internasional komoditas utama perkebunan. Sarana penunjang dimaksud khususnya di bidang keuangan (modal dan bunga), asuransi dan pengangkutan (fasilitas dan jaringan pengangkutan). Dengan tingkat persaingan internasional yang semakin tinggi dan proses globalisasi berjalan makin cepat, maka sarana penunjang tersebut menjadi sangat strategis dalam menentukan pengembangan ekspor komoditas utama perkebunan.
Akhir-akhir ini industri kelapa sawit cukup marak dibicarakan, karena dunia saat ini sedang ramai-ramainya mencari sumber energi baru pengganti minyak bumi yang cadangannya semakin menipis. Salah satu alternatif pengganti tersebut adalah energi bio diesel dimana bahan baku utamanya adalah minyak mentah kelapa sawit atau yang lebih dikenal dengan nama Crude Palm Oil (CPO). Bio diesel ini merupakan energi alternatif yang ramah lingkungan, selain itu sumber energinya dapat terus dikembangkan, sangat berbeda dengan minyak bumi yang jika cadangannya sudah habis tidak dapat dikembangkan kembali.
Pertumbuhan permintaan CPO tidak hanya disebabkan dengan adanya pengembangan energi alternatif tersebut, tetapi juga disebabkan kenaikan permintaan yang disebabkan oleh pertumbuhan industri hilirnya. Indonesia sebagai produsen utama bersama Malaysia seharusnya dapat memperoleh keuntungan dari keadaan tersebut, dengan berkonsentrasi membangun industri kelapa sawit dan infrastruktur pendukungnya.

Perkembangan Minyak Kelapa Sawit Dunia
Konsumsi minyak sawit (CPO ) dunia dari tahun ke tahun terus menunjukkan tren meningkat. Pertumbuhan akan permintaan CPO dunia dalam 5 (lima) tahun terakhir, rata-rata tumbuh sebesar 9,92%. China dengan Indonesia merupakan negara yang paling banyak menyerap CPO dunia. Selain itu negara Uni Eropa juga termasuk konsumen besar pengkomsumsi CPO di dunia.
Seiring dengan meningkatnya konsumsi dunia, ekspor CPO dalam 5 (lima) tahun terakhir juga menunjukkan tren meningkat, rata-rata peningkatannya adalah sebesar 11%. Eksportir terbesar didunia didominasi oleh Malaysia dan Indonesia, kedua negara tersebut menguasai 91% pangsa pasar ekspor dunia. Papua Nugini berada di urutan ke 3 dengan perbedaan share yang cukup jauh yaitu hanya berkisar 1,3% (Grafik 1).
Diprediksikan peningkatan konsumsi dan ekspor ini akan terus berlanjut bahkan dalam persentase yang lebih besar mengingat faktor yang mendukung hal tersebut cukup banyak, seperti: pertumbuhan penduduk, pertumbuhan industri hilir, perkembangan energi alternatif, dll. Malaysia dan Indonesia diprediksikan akan terus menjadi pemain utama dalam ekspor CPO ini, mengingat belum ada perkembangan yang signifikan dari negara pesaing lainnya. Bahkan Indonesia diprediksikan akan menyalip Malaysia baik dalam produksi maupun ekspor CPO, karena didukung oleh luas lahan yang tersedia dimana Malaysia sudah mulai terbatas.



Harga Komoditas Perkebunan di Pasar Internasional
Memasuki awal abad 21, masalah harga produk primer perkebunan tampaknya tidak akan mengalami perubahan yang signifikan dibandingkan dengan periode sebelumnya. Harga produk primer perkebunan di pasar internasional yang merupakan pasar utama produk primer perkebunan Indonesia diperkirakan akan masih mengalami tekanan. Sebagai contoh, rata-rata harga karet selama 25 tahun terakhir adalah sekitar US$ 1,1/kg. Pada tiga tahun terkhir, harga karet mencapai titik terendah, dengan kisaran US$ cent 0.6-0.7/kg. Hal yang sama juga tampaknya berlaku untuk harga CPO yang pada akhir tahun 2000 berkisar antara US$ 225- 250 per ton. Nasib harga kopi dan kakao juga tidak jauh berbeda. Harga kakao biji dan kopi robusta umumnya di atas US$ 1/kg, sedangkan kini hanya berkisar antara US$ 0.6-0.8/kg. Menurunnya harga komoditas perkebunan tersebut tentu merupakan tekanan berat bagi pelaku bisnis perkebunan.
Memasuki awal abad 21, khususnya tahun 2001, harga produk perkebunan diperkirakan lebih tinggi dari harga yang terjadi pada akhir tahun 2000. Hal ini lebih disebabkan oleh factor psikologis di mana harga-harga produk perkebunan tahun 2000 dianggap sebagai harga titik terendah. Memasuki tahun 2001, harga diperkirakan akan meningkat. Namun demikian, peningkatan tersebut tidak akan melonjak, kecuali ada penyebab ekstrim, seperti frost di Brazil yang dapat meningkatkan harga kopi lebih dari 100 persen. Dengan kenaikan yang bersifat moderat, maka harga komoditas perkebunan akan meningkat tetapi belum mencapai harga booming-nya. Sebagai contoh, harga CPO akan bergerak antara US$ 300-350/ton, sedangkan harga karet adalah sekitar US$ 700-900/ton.
Masalah kedua yang masih terkait dengan harga adalah bahwa fluktuasi harga produk perkebunan juga masih akan terjadi. Seperti diuraikan sebelumnya, fluktuasi harga komoditas perkebunan sudah merupakan ciri dari pasar komoditas tersebut. Penyebab fluktuasi harga bersifat kompleks yang menyangkut faktor alam (iklim), biologis (masa tanaman belum menghasilkan yang lama) sehingga penawaran jangka pendek menjadi tidak elastis. Ditambah dengan sisi permintaan yang juga tidak elastis, maka fluktuasi harga komoditas perkebunan masih akan menjadi fenomena yang harus disiasati pada masa-masa mendatang.



Analisis Kebijakan Pemerintah untuk Industri Minyak Kelapa Sawti Indonesia
Karena merupakan komoditi yang paling penting bagi Indonesia, maka pemerintah merasa perlu untuk turut mengatur sistem tata niaga kelapa sawit beserta produk-produknya terutama CPO. Wujud campur tangan pemerintah ini ada tiga, yaitu
- pertama: pengaturan alokasi CPO,
- kedua: pembentukan sistem pengawasan secara langsung terhadap pasokan dan harga domestik, ketiga:
- pembatasan dan pelarangan ekspor CPO.
Kebijakan mengenai tata niaga minyak kelapa sawit khususnya CPO dan PKO pertama kali dikeluarkan pemerintah pada tahun 1978 dan terus diperbaharui hingga sekarang. Tujuan utama penetapan kebijakan-kebijakan tersebut adalah tidak lain untuk menjamin agar pasokan CPO dalam negeri tetap stabil, sehingga harga minyak goreng di dalam negeri tetap stabil.
Setelah penyediaan bahan baku CPO bagi industri minyak goreng di dalam negeri cukup, maka sejak tanggal 3 Juni 1991 sistem tata niaga kelapa dan kelapa sawit dibebaskan. Seandainya terjadi kekurangan bahan baku minyak goreng, maka produsen bebas mengimpor CPO dengan bea masuk 5%. Akibat kebebasan ekspor tersebut serta didukung oleh baiknya harga CPO di pasar internasional, maka terjadilah kelangkaan CPO di dalam negeri.
Pada bulan Juli tahun 1992 melalui paket deregulasi, pemerintah menetapkan bahwa minyak goreng kelapa sawit termasuk dalam daftar negatif investasi (tertutup) bagi semua investor, baik untuk PMA, PMDN, maupun non PMA/PMDN. Investasi diizinkan bila dilakukan secara terpadu dengan pengembangan perkebunan kelapa sawitnya atau dengan penyediaan bahan baku sekurang-kurangnya 65% dari hasil produksinya yang diekspor. Sementara itu tariff bea tambahan yang semula 20% dihapuskan agar produsen dalam negeri dapat bersaing dengan produk-produk luar yang masuk.
Keberhasilan ekspor CPO dengan pembebasan sistem tata niaga serta didukung oleh naiknya harga CPO di pasaran internasional kembali mengakibatkan terjadinya kelangkaan CPO di dalam negeri bagi pasok bahan baku khususnya industri minyak goreng. Untuk mengerem laju ekspor tersebut maka pada bulan September 1994 pemerintah mengeluarkan kebijakan pengenaan pajak ekspor (PE) progresif untuk CPO dan produk turunannya melalui SK Menteri Keuangan.

Pada pertengahan 1995, peran pemerintah (BULOG) dalam menstabilkan harga minyak sawit ditingkatkan lagi melalui kerja sama dengan perusahaan perkebunan Negara menghimpun buffer stock CPO dan selanjutnya bekerjasama dengan industri minyak goring swasta melakukan operasi pasar minyak goreng pada saat menjelang tahun baru dan hari raya Idul Fitri.
Untuk memberikan kesempatan kepada pemodal dalam negeri (PMDN), sejak bulan Maret 1997, pemerintah membekukan sementara investasi penanaman modal asing dalam bidang perkebunan kelapa sawit, sedangkan izin bagi investasi Penanaman Modal Asing did proyek minyak kelapa sawit mentah (CPO) dibatasi.
Memasuki masa krisis moneter, pada bulan Juli 1997 pemerintah menurunkan PE CPO dan produk turunannya dari sekitar 10% sampai 12% menjadi 2% sampai 5%. Sistem perpajakan ini menekankan struktur tarif PE yang diharmonisasikan dengan memberikan beban yang lebih besar pada ekspor bahan baku dan beban lebih ringan pada ekspor barang jadi.
Pada bulan Desember 1997, melalui SK Menteri Keuangan pemerintah mengeluarkan peraturan mengenai pajak ekspor tambahan (PET) yang diberlakukan mulai tanggal 17 Desember 1997. Kemudian untuk mengamankan persediaan minyak goreng di dalam negeri terutama menjelang hari-hari raya, maka pemerintah melalui SK Memperindag mengatur alokasi pasokan dalam negeri yang diberlakukan mulai tanggal 19 Desember 1997. Selain itu pemerintah telah menunjuk 17 kelompok perusahaan kelapa sawit untuk memberikan kuota 80% produksinya untuk industri minyak dalam negeri. Bagi perusahaan yang melanggar kuota tersebut, pemerintah menaikkan PE tambahan sesuai dengan SK Menteri Keuangan tersebut yaitu berkisar antara 28-30%. Tarif PE tersebut dikenakan dengan catatan harga minyak goreng dalam negeri mencapai Rp. 1.250/kg dan besarnya ditetapkan bervariasi 40-70%.
Besarnya tarif PE dari tiap-tiap jenis dikelompokkan ke dalam 6 tingkat tarif yang didasarkan pada perkalian besarnya tarif dengan selisih harga ekspor (HE) dan harga dasar (HD) yang telah ditentukan. Beberapa hari kemudian tepatnya tanggal 24 Desember 1997 pemerintah menetapkan larangan ekspor CPO melalui SK Dirjen Perdagangan Dalam Negeri sebagai tindak lanjut kebijakan pembatasan ekspor sebelumnya.
Selanjutnya dalam rangka mengendalikan harga minyak goreng di dalam negeri, pemerintah melalui Surat Menteri Kehutanan dan Perkebunan tanggal 22 April 1998, mengatur beberapa hal, yaitu melalui penyaluran CPO PTPN kepada perusahaan pengolah CPO yang telah ditunjuk, pendistribusian minyak disalurkan oleh BULOG, pembatalan kontrak (outstanding contract), serta pengaturan pembayaran minyak goreng secara cash flow.
Pada pertengahan tahun 1998, tingginya harga CPO di pasar internasional serta rendahnya nilai kurs Rupiah terhadap US$ kembali mendorong lajunya ekspor CPO. Hal ini tentu saja kembali mengakibatkan langkanya pasokan CPO dalam negeri. Oleh karena itu pada bulan Juli 1998 pemerintah menaikkan PE CPO yang semula 40% menjadi 60%. Setelah dianggap pasokan CPO telah mencukupi sehingga harga minyak goring kembali turun, maka pada awal tahun 1999 pemerintah kembali menurunkan PE CPO yang semula 60% menjadi 40%. Namun pemerintah melarang ekspor CPO produksi PTPN. Beberapa saat yang lalu tepatnya pada tanggal 3 Juni 1999, pemerintah kembali menurunkan PE CPO sebesar 10%, yaitu yang semula 40% turun menjadi 30%. Menurut
Deperindag, tujuan penurunan PE CPO ini adalah sebagai latihan untuk mengamankan harga minyak dalam negeri. Selanjutnya penurunan akan dilakukan secara bertahap setelah mengkaji kondisi pasar dalam negeri dan pasar internasional. Dalam tabel berikut dapat dilihat ringkasan-ringkasan kebijakan pemerintah untuk produk kelapa sawit yang dilekuarkan sejak tahun 1978 hingga tahun 2000.















1. Pengaturan Alokasi CPO
Meningkatnya nilai tukar rupiah akan menyebabkan meningkatnya penawaran ekspor CPO Indonesia. Pemberlakuan pajak ekspor seharusnya mengurangi penawaran ekspor CPO Indonesia. Sayangnya secara statistik dampak pemberlakuan pajak ekspor ini tidak signifikan. Berarti tidak ada perubahan yang berarti pada periode sebelum dan sesudah di berlakukan kebijakan pajak ekspor. Produsen tetap memilih mengekspor CPO ke pasar intenasional daripada pasar domestik, karen harga di pasar dunia lebih tinggi dibandingkan dengan harga di pasar domestik.
Penawaran ekspor CPO Indonesia akan mempengaruhi penawaran CPO domestik. Penawaran ekspor dan penawaran domestik memiliki arah yang berlawanan. Ketika penawaran ekspor CPO Indonesia berkurang artinya penawaran CPO dalam negeri akan meningkat. Produksi CPO Indonesia memiliki hubungan yang positif terhadap penawaran CPO domestik Indonesia. Dengan produksi Indonesia yang meningkat artinya pasokan CPO di pasar terutama pasar domestik akan meningkat. Impor CPO ke pasar domesti Indonesia memliki hubungan yang positif terhadap penawaran CPO domestik. Artinya, dengan meningkatnya jumlah impor CPO ke pasar domestik maka penawaran CPO di pasar domestik akan semakin banyak. Penawaran domestik CPO Indonesia memiliki hubungan yang negative dengan harga CPO domestik.
Dengan peningkatan penawaran domestik maka harga domestik akan menurun. Harga pasar domestik akan turun akibat terdapat banyak pasokan CPO di pasar. Produksi CPO Indonesia memiliki hubungan yang negatif terhadap harga domestik CPO Indonesia. Apabila produksi CPO Indonesia meningkat, maka penawaran CPO di pasar domestik akan meningkat. Harga CPO Indonesia periode sebelumnya mempunyai hubungan yang positif dengan harga domestik CPO Indonesia. Harga minyak kelapa mempunyai tidak memiliki hubungan dengan harga domestik CPO Indonesia. Hal ini menunjukkan minyak kelapa tidak mempengaruhi harga CPO domestik. Minyak kelapa dan CPO memiliki segmen pasar yang berbeda.
Kebijakan Pajak Ekspor mempengaruhi penawaran ekspor CPO Indonesia. Penawaran ekspor CPO Indonesia akan mempengaruhi penawaran domestik CPO Indonesia. Penawaran domestik CPO Indonesia akan mempengaruhi harga domestik CPO Indonesia, maka dapat disimpulkan bahwa kebijakan pajak ekspor tidak efisien dilakukan. Karena kebijakan ini tidak mampu memncapai tujuannya, yaitu untuk menurunkan harga CPO domestik. Dari sisi lain akan merugikan negara dengan menurunkan penawaran ekspor CPO Indonesia, yang merupakan salah satu sumber devisa negara terbesar.
Pajak ekspor dengan tujuan mendatangkan devisa bagi pemerintah harus dapat berjalan dengan pemenuhan kebutuhan dalam negeri dengan kombinasi kebijakan pajak ekspor. Pajak ekspor tidak boleh melanggar ketentuan yang telah disepakati Indonesia dalam perjanjian bilateral, regional maupun internasional. Perlu adanya kebijakan yang terintegrasi antara pemerintah daerah dan pusat serta peran pusat yang mengkoordinasikan
seluruh wilayah serta menetapkan kebijakan dasar. Diperlukan diregulasi yang bersifat insentif yang efektif, serta upaya mengurangi intervensi pemerintah, sehingga tercipta iklim investasi yang menarik.

2. Pembentukan sistem pengawasan secara langsung terhadap pasokan dan harga domestik
Tata niaga CPO dan PKO pada mulanya diatur pemerintah melalui Surat Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi pada tahun 1978 untuk tujuan ekspor. Selanjutnya masih pada tahun yang sama, dikeluarkan Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri, yaitu Menteri Perdagangan dan Koperasi, Menteri Pertanian, dan Menteri Perindustrian yang berisi tentang pengaturan sistem tata niaga minyak sawit baik di dalam negeri maupun untuk ekspor. Selanjutnya, dalam teknis pelaksanaan sistem tata niaga minyak sawit untuk perdagangan dalam negeri, surat keputusan bersama tersebut diperkuat dengan kebijaksanaan pedoman dan pelaksanaan teknis yang diatur dalam Keputusan Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri yang dikeluarkan pada tahun 1979 dan 1983. Surat keputusan ini mengatur tentang syarat-syarat penyerahan, pengangkutan, teknis pelaksanaan, dan sebagainya.

3. Pembatasan dan pelarangan ekspor CPO
Sebenarnya kenaikan harga minyak goreng ini dipicu oleh naiknya harga Crude Palm Oil (CPO) atau biji sawit yang menjadi bahan baku minyak goreng curah di pasar dunia. Ini menggiurkan para pemasok sehingga, ramai-ramai melakukan ekspor. Praktis, pasokan ke pabrik-pabrik minyak goreng curah langka sehingga produksi menurun. Akibatnya, suplay ke pasar pun menurun, sehingga terjadi kenaikan harga. Untuk memenuhi pasokan kebutuhan dalam negeri, pemerintah telah mengeluarkan imbauan untuk menyetop sementara atau mengurangi ekspor bahan baku minyak goreng curah dan lebih mengutamakan pasokan ke pabrik minyak goreng untuk suplay kebutuhan dalam negeri. Kalau ternyata tetap melakukan ekspor, pemerintah akan memaksa dengan menempuh langkah menaikkan pajak ekspor. Sehingga, mau tidak mau para pemasok bahan baku ke pabrik minyak goreng memprioritaskan pasokan ke pabrik minyak goreng curah untuk kebutuhan dalam negeri.
Pembatasan ekspor merupakan salah satu strategi agar pabrik minyak goreng bisa berproduksi normal lagi. Dengan normalnya produksi, maka suplay ke pasar melalui distributor dan pengecer bisa lancar. Imbauan larangan ekspor sementara atau pembatasan ekspor CPO, juga diikuti dengan program operasi pasar. Dalam hal ini pemerintah melalui Wapres, menggelar program stabilisasi harga minyak goreng dengan menyediakan pasokan program stabilitasasi harga sebanyak 100-150 ribu ton untuk lima kota besar (Medan, Jakarta, Semarang, Jatim dan Makassar).
Solusi untuk menstabilkan harga minyak goreng melalui Somestik Market Obligation (DMO), yang mewajibkan 20 % dari produksi produsen CPO atau 3,2 juta volume untuk stabilitas haraga minyak goreng yang ditetapkan Pemerintah agar harga minyak goreng turun. Tentu tidak segampang menerapkan DMO, tentu ada PP (Peraturan Pemerintah) yang mengaturnya. Pengutan ekspor tidak efektif dalam menstabilkan harga minyak goreng dalam negeri adalah bahan baku 80 - 90 % berasal dari CPO, dengan harga CPO di pasar global naik maka berpengaruh pada harga CPO dalam negeri. Volume CPO dalam negeri cukup selain itu karena banyak CPO untuk bio fuel yang mendongkrak harga CPO menjadi sekitar Rp. 7.500/kg.

Peraturan Terkait dengan Pajak dan Retribusi Komoditi
Dalam rangka mendorong pertumbuhan ekspor dan meningkatkan penerimaan devisa serta menciptakan efisiensi perekonomian nasional, dipandang perlu meninjau kembali dan menetapkan besarnya tarip Pajak Ekspor kelapa sawit, minyak kelapa sawit dan produk turunannya. Hal ini dituangkan dalam Keputusan Menteri Keuangan RI No. 360/KMK.0171999 tentang Penetapan Besarnya Tarif Pajak Ekspor Kelapa Sawit, Minyak Kelapa Sawit dan Produk Turunannya di mana
berlaku :

Harga Patokan Ekspor secara berkala ditetapkan oleh Menteri Perindustrian dan Perdagangan. Bila Harga Patokan Ekspor ini tidak ada, maka pajak ekspor dihitung berdasar harga FOB yang tercantum dalam Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB). Sedangkan nilai tukar mata uang ditentukan oleh Menteri Keuangan secara berkala.

Kesimpulan
Komoditi minyak kelapa sawit (CPO) Indonesia memiliki daya saing. Namun daya saing tersebut berupa murahnya biaya produksi dibandingkan dengan negara produsen lainnya. Hal ini disebabkan oleh rendahnya upah buruh di Indonesia dan kebijakan subsidi pupuk oleh pemerintah, serta karena factor endowment yang dimiliki Indonesia.
Namun dalam menghadapi era perdagangan bebas mendatang, daya saing yang didasarkan oleh murahnya upah buruh serta adanya kebijakan subsidi pupuk tidak akan dapat bertahan lama. Jika daya saing hanya mengandalkan kepada kedua faktor tersebut, maka Indonesia akan kehilangan posisisnya sebagai salah satu pemasok utama dunia untuk komoditi minyak kelapa sawit.
Di era pasar bebas mendatang bukannya tidak mungkin upah buruh akan meningkat, sehingga upah buruh tidak dapat lagi diandalkan sebagai faktor yang menyebabkan daya saing. Begitu juga halnya dengan subsidi pupuk agar dipertimbangkan kembali agar sesuai dengan kebutuhan dan tepat pada sasaran. Dari pengalaman menunjukkan subsidi ternyata lebih dinikmati oleh importir, distributor dan pedagang. Sementara petani dan konsumen tidak mendapat manfaat dari subsidi tersebut.
Jika dilihat dari perkembangan produksi dan ekspor impor dunia, maka dapat dikatakan bahwa minyak kelapa sawit Indonesia memiliki prospek ekspor yang cerah. Ini berarti Indonesia memiliki peluang yang lebih besar untuk memperoleh devisa dari komoditi ini. Karena mempunyai arti penting bagi Indonesia , maka pemerintah perlu campur tangan dan mengatur tata niaga minyak kelapa sawit dalam bentuk pengaturan alokasi, pengawasan pasokan dan harga serta pembatasan dan pelarangan ekspor CPO. Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan selama ini untuk kelapa sawit hanya bersifat jangka pendek dan
lebih berorientasi kepada konsumen domestik. Adapun tujuan utama kebijakan tersebut adalah untuk menjaga kestabilan pasokan CPO dalam negeri. Instrumen yang digunakan pemerintah untuk tujuan tersebut adalah berupa penetapan pajak ekspor CPO. Jika dilihat dari perkembangan kebijakan pemerintah dari tahun 1994-1999 terlihat bahwa penetapan pajak ekspor berubah-ubah. Jika pasokan dalam negeri berkurang yang mengakibatkan mahalnya harga CPO dalam negeri, maka pajak ekspor dinaikkan.
Apabila pasokan dalam negeri dirasakan sudah cukup dan harganya turun, maka pajak ekspor kembali diturunkan. Pada september 2000 pajak ekspor kembali diturunkan menjadi 5%. Melalui kebijakan-kebijakan tersebut terlihat ketidakseriusan dalam melihat peluang ekspor CPO di pasar internasional. Inkonsistensi kebijakan tersebut menimbulkan kacaunya tata niaga CPO yang sudah ada. Oleh karena itu penetapan pajak ekspor CPO sebaiknya dipertimbangkan kembali dengan menganalisis dampak (positif/negatif) yang dapat terjadi akibat penetapan PE CPO.
Dari pemaparan diatas memang ada perbedaan "visi dan misi" antara pemerintah dengan produsen minyak kelapa sawit Indonesia. Di satu sisi pemerintah ingin agar pasokan dalam negeri stabil, sementara di sisi lain produsen dan petani menginginkan agar keuntungannya dapat dimaksimalkan. Pemerintah dipaksa untuk memilih akan berpihak kemana, apakah produsen atau konsumen karena pasti ada tradeoff diantara keduanya.

DAFTAR PUSTAKA
Aschauer, D. 1989. Ist Public Expenditure Productive. Journal of Monetary Economics 23 (March). The World Bank.
Bappenas. 2004. Model Pertumbuhan Sektor Pertanian untuk Penyusunan Strategi Pembangunan Pertanian. Direktorat Pertanian dan Pangan, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Jakarta.
Badan Pusat Statistik. (2000). Indikator Ekonomi, September 2000, Badan Pusat Statistik, Jakarta.
BPS. 2004. Sensus Pertanian 2003: Angka Provinsi Hasil Pendaftaran Rumah Tangga (Angka Sementara). Badan Pusat Statistik, Jakarta.
Lewis, W.A. 1954. Economic Development with Unlimited Supplies of Labor.
Menteri Pertanian Republik Indionesia. 2001. Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 459/Kpts/OT.210/8/2001, Jakarta.
Menteri Pertanian Republik Indonesia. 2002. Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 70/Kpts/OT.210/1/2002.
Perkins, D. H; S.Radeler; D. R. Snodgrass; M. Gillis, dan M. Roemer. 2001. Economics of Development. Fifth Edition. New York: W.W. Norton and Company.
Priyarsono, D.S., A. Daryanto dan L. Herliana. 2005. Dapatkah Pertanian Menjadi Mesin Pertumbuhan Ekonomi Indonesia? Analisis Sistem Neraca Sosial Ekonomi.Agro-Ekonomika, 35 (1): 37-47.
Ram, R. 1986. Government Size and Economic Growth : A New Framework and Some Evidence from Cross-Section and Time-Series Data. American Economic Review Vol. 76, No. 1 (March).

PERMINTAAN DAN PENAWARAN

PERMINTAAN DAN PENAWARAN

Oleh : Aulya Retno Setyari
AGROEKOTEKNOLOGI A/0910480023

Pengertian, Hukum, Kurva dan Teori Permintaan
a. Permintaan (Demand)
Permintan adalah banyaknya jumlah barang yang diminta pada suatu pasar tertentu dengan tingkat harga tertentu pada tingkat pendapatan tertentu dan dalam periode tertentu.
Beberapa Penentuan Permintaan
Permintaan seseorang atau suatu masyarakat kepada suatu barang ditentukan oleh faktor-faktor,diantaranya :
1. Harga barang itu sendiri (Px)
2. Harga barang lain ( Py)
3. Pendapatan konsumen (Inc)
4. Cita rasa (T)
5. Iklim (S)
6. Jumlah penduduk (Pop)
7. Ramalan masa yang akan datang (F)
Persamaan :

b. Hukum Permintaan (the low of demand)
Hukum permintaan pada hakikatnya merupakan suatu hipotesis yang menyatakan :
“Hubungan antara barang yang diminta dengan harga barang tersebut dimana hubungan berbanding terbalik yaitu ketika harga meningkat atau naik maka jumlah barang yang diminta akan menurun dan sebaliknya apabila harga turun jumlah barang meningkat.
(Qd = F.(Px, Py, Ine,T,S, Pop,F)


c. Daftar Permintaan
Daftar permintaan ialah suatu tabel yang memberi gambaran dalam angka-angka tentang hubungan antara harga dengan jumlah yang diminta masyarakat. Ia menggambarkan besarnya permintaan yang ada pada berbagai tingkat harga.
Contoh :

Kurva Permintaan
Kurva Permintaan dapat didefinisikan sebagai :
“Suatu kurva yang menggambarkan sifat hubungan antara harga suatu barang tertentu dengan jumlah barang tersebut yang diminta para pembeli.” Kurva permintaan berbagai jenis barang pada umumnya menurun dari kiri ke kanan bawah. Kurva yang demikian disebabkan oleh sifat hubungan antara harga dan jumlah yang diminta yang mempunyai sifat hubungan terbalik.


d. Teori Permintaan
Dapat dinyatakan : “Perbandingan lurus antara permintaan terhadap harganya yaitu apabila permintaan naik, maka harga relatif akan naik, sebaliknya bila permintaan turun, maka harga relatif akan turun.”
Gerakan sepanjang “dan perubahan kurva permintaan
a. Gerakan sepanjang kurva permintaan
Perubahan sepanjang kurva permintaan berlaku apabila harga barang yang diminta menjadi makin tinggi atau makin menurun.

Pergeseran kurva permintaan
Kurva permintaan kan bergerak kekanan atau kekiri apabila terdapat perubahan – perubahan terhadap permintaan yang ditimbulkan oleh faktorfaktor bukan harga, sekiranya harga barang lain, pendapatan para pembeli dan berbagai faktor bukan harga lainnya mengalami perubahan, maka perubahan itu akan menyebabkan kurva permintaan akan pindah ke kanan atau ke kiri.

B. Pengertian, Hukum, Kurva dan Teori Penawaran
a. Penawaran (Supply)
Penawaran adalah banyaknya barang yang ditawarkan oleh penjual pada suatu pasar tertentu, pada periode tertentu, dan pada tingkat harga tertentu.
Penentuan – penentuan Penawaran
Keinginan para penjual dalam menawarkan barangnya pada berbagai tingkat harga ditentukan oleh beberapa faktor. Yang tepenting adalah :


b. Hukum Penawaran
Hukum penawaran pada dasarnya mengatakan bahwa : “Semakin tinggi harga suatu barang, semakin banyak jumlah barang tersebut akan ditawarkan oleh para penjual. Sebaliknya, makin rendah harga suatu barang, semakin sedikit jumlah barang tersebut yangditawarkan.”

c. Daftar Penawaran
Daftar penawaran yang gambaran yang menunjukan jumlah penawaran pada berbagai tingkat harga.

Kurva Penawaran
Kurva penawaran dapat didefinisikan sebagai : “Yaitu suatu kurva yang menunjukkan hubungan diantara harga suatu barang tertentu dengan jumlah barang tersebut yang ditawarkan”.
- Kalau penawaran bertambah diakibatkan oleh faktor-faktor di luar harga, maka supply bergeser ke kiri atas.
- Kalau berkurang kurva supply bergeser ke kiri atas
- Terbentuknya harga pasar ditentukan oleh mekanisme pasar



d. Teori Penawaran
Yaitu teori yang menerangkan sifat penjual dalam menawarkan barang yang akan dijual.
Gerakan sepanjang dan pergeseran kurva penawaran
Perubahan dalam jumlah yang ditawarkan dapat berlaku sebagai akibat dari pergeseran kurva penawaran.


DAFTAR PUSTAKA

Azis, A. 1992. Siapa dan Bagaimana Menggarap Agroindustri. Makalah pada
seminar Nasional Agroindustri III. Desember 1992. Yogyakarta.
Badan Agribisnis. 1997. Rencana Strategis Badan Agribisnis Repelita VII. Badan
Agribisnis Departemen Pertanian Republik Indonesia. Jakarta.
Baharsyah, S. 1993. Pendayagunaan Sumberdaya Manusia, IPTEK dan Faktor
Penunjang lainnya dalam Pengembangan Agroindustri. Makalah pada
Lokakarya dan seminar Pengembangan Agroindustri. Jakarta.
Ditjen Perkebunan. 1999. Statistik Perkebunan, Berbagai Komoditas Perkebunan.
Jakarta.
Jafar Hafsah, M. 2002. Bisnis Gula di Indonesia. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta.

KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM SUBSIDI PRODUK PERTANIAN

KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM SUBSIDI PRODUK PERTANIAN

OLEH : Anggraheni Wahyuningratri
AGROEKOTEKNOLOGI A/0910480017

Pemberian subsidi kepada petani merupakan salah satu kebijakan utama pembangunan pertanian yang telah lama dilaksanakan pemerintah dengan cangkupan dan besaran yang berubah dari waktu ke waktu. Pemberian insentif tidak saja didasarkan oleh pertimbangan ekonomi, tetapi juga karena desakan dan dorongan politik dan sosial. Bisa terjadi, pemberian subsidi dan dukungan harga bagi petani lebih didominasi oleh pertimbangan politik dan sosial. Sebagai contoh, berbagai penelitian terdahulu telah menunjukkan bahwa penggunaan pupuk pada usahatani sawah telah berlebihan sehingga pemberian subsidi harga pupuk yang terus meningkat merupakan kebijakan yang tidak tepat dipandang dari pertimbangan ekonomi. Namun demikian, pemberian subsidi pupuk yang terus meningkat mendapatkan dukungan politik dari parlemen maupun masyarakat luas karena dipandang bijaksana menolong petani yang sebagian besar masih hidup dalam kemiskinan.
Ada dua argumentasi yang melandasi pentingnya pemerintah memberikan bantuan kepada petani:
• Pertama, suatu kewajiban pemerintah membantu petani yang sebagian besar merupakan masyarakat miskin yang tidak mempunyai kapasitas yang memadai untuk mengembangkan kapasitas produksi pertanian sementara eksistensi produksi pertanian ke depan masih sangat diperlukan;
• Kedua, melindungi petani miskin dari ancaman eksternal akibat ketidakadilan perdagangan dalam rangka memberdayakan mereka menjadi masyarakat yang mandiri mampu menghidupi dirinya dan juga menjaga eksistensi sektor pertanian ke depan.
Beberapa fakta yang mendukung argumentasi ketidakmampuan petani mengembangkan kapasitas produksi pertaniannnya antara lain :
Pertama,
 walaupun terjadi penurunan insiden kemiskinan dari 19,14% pada tahun 2000 menjadi 16.60% pada tahun 2004, namun jumlah penduduk miskin secara absolute sangat besar yaitu sekitar 36 juta dan diperkirakan sekitar 20 juta diantarnya berada di wilayah pedesaan. Dari sekitar 20 juta penduduk miskin di pedesaan sekitar 55 persen bergantung pada sektor pertanian.
Kedua,
 walaupun surplus usahatani cukup prospekstif, sebagai contoh surplus usahatani padi tanpa memperhitungkan lahan sebesar 61%, namun pendapatan per kapita petani per tahun berkisar Rp 2.304.909 - Rp 2.684.865 (Rp 6.403 - Rp 7.458 per hari per kapita) (PATANAS, 20041 dan 20052) atau dibawah $ 1 per hari masih jauh dibawah garis kemiskinan berdasarkan kriteria World Bank $ 2 per hari per kapita.

EVALUASI HISTORIS KEBIJAKAN SUBSIDI
Berdasarkan pada keberhasilan pilot proyek demonstrasi masal (Denmas) tahun 1965, keluarlah keputusan Menteri Pertanian tahun 1967 tentang program Bimas dengan sasaran peningkatan kinerja pelaksanaan intensifikasi pada beberapa sentra produksi padi. Basis Bimas adalah penterapan teknologi Panca Usaha Tani yang meliputi:
(a) Penyediaan air dalam jumlah yang cukup dan waktu yang tepat;
(b) Penggunaan benih unggul dengan potensi hasil tinggi dan masa tumbuh yang relatif pendek;
(c) Penyediaan pupuk yang cukup;
(d) Pengendalian hama terpadu;
(e) Cara bercocok tanam yang baik.
Penerapan teknologi tersebut juga disertai dengan investasi prasarana irigasi dan perluasan areal persawahan. Keberhasilan program Bimas, direspons dengan dukungan politik pemerintah melalui pembentukan program Bimas Nasional pada 1 Desember 1969. Pada Bimas Nasional, pemerintah menyediakan kredit dengan bunga rendah dan sarana produksi utama (bibit unggul, pupuk, dan pestisida) dengan tingkat harga yang disubsidi. Kebijakan subsidi harga input ini dipadukan dengan kebijakan stabilisasi harga output melalui penetapan harga dasar gabah dan pengamanannya oleh Bulog. Setiap tahun sebelum masa tanam musim hujan, pemerintah menetapkan harga pupuk kimia, pestisida, bibit unggul dan harga dasar gabah sebagai sistem insentif untuk mendorong adopsi teknologi dan peningkatan produksi padi (Hafsah dan Sudaryanto, 2004).
Pada tahapan berikutnya dibentuklah kelompok tani sehamparan dengan sasaran mempermudah penyaluran kredit dan sarana produksi serta memperlancar pelaksanaan penyuluhan. Bersamaan dengan pembentukan kelembagaan kelompok tani ini dilakukan pengembangan program Bimas menjadi Intensifikasi Khusus (Insus). Bimas dengan pola Insus dilaksanakan petani dengan penerapan teknologi Sapta Usahatani dengan mempertimbangkan dua komponen tambahan yaitu penyuluhan dan penanganan pasca panen/pemanenan dalam Panca Usaha Tani. Pelaksanaan program Insus diperluas dengan agroekosistem sawah irigasi dan tadah hujan, yang mencakup agroekosistem. lah.an marginal seperti lahan pasang surut, lebak, dan lahan kering.
Pada perkembangan selanjutnya program Insus mengakomodasi rekayasa teknologi sosial ekonomi dengan mempertimbangkan kerja sama antar kelompok pelaksana Insus dalam Wilayah Kerja Penyuluhan Pertanian (WKPP). Program Insus ini disebut Supra Insus yang pada prinsipnya penyempurnaan konsep delivery system dan receiving system dalam rangka menciptakan iklim yang semakin kondusif dalam pengembangan system usahatani yang berorientasi pasar (Hafsah dan Sudaryanto, 2004).
Dinamika perkembangan program Bimas ini yang berawal dari Denmas - Supra Insus akhirnya mengantarkan Indonesia mencapai swasembada beras pada tahun 1984. Swasembada dicapai melalui keberhasilan dalam pengembangan infrastruktur (fisik dan kelembagaan), implementasi kebijakan subsidi input dan kredit, serta kebijakan proteksi harga. Swasembada beras ternyata hanya dapat dipertahankan sampai tahun 1993. Mulai tahun 1994, impor beras mengalami peningkatan dan mencapai puncaknya pada tahun 1998 dengan volume impor sekitar 5,8 juta ton. Kondisi ini disebabkan oleh perlambatan laju pertumbuhan produksi padi sebagai akibat adanya pelandaian pertumbuhan produktivitas.
Penurunan pemberian insentif secara bertahap pada hakekatnya telah dimulai pada akhir tahun 1980-an, yang diawali dengan penghapusan subsidi pestisida 1989 dan pengurangan subsidi pupuk K, air irigasi (Simatupang dan Rusastra, 2004). Kecenderungan penurunan insentif ini terlihat dari penurunan subsidi pupuk dalam APBN sejak tahun 1988/89. Dalam beberapa tahun terakhir ada kecenderungan kuat bahwa pemerintah akan menghapus semua insentif produksi, sehingga usahatani padi
sepenuhnya bergantung pada kekuatan pasar bebas. Satu-satunya kebijakan insentif bagi petani padi yang masih dipertahankan adalah kebijakan harga dasar gabah (HDG). Namun, kebijakan inipun tidak sepenuhnya efektif, karena sejak 1999 harga gabah yang diterima petani jauh di bawah HDG.




Kebijakan Subsidi Pupuk

Dinamika kebijakan subsidi pupuk dapat dibedakan menjadi empat tahapan yaitu kebijakan subsidi sebelum era pasar bebas, kebijakan penghapusan subsidi memasuki pasar bebas, kebijakan pemberian kembali subsidi pupuk, dan kebijakan subsidi pupuk era pasar bebas.
Dinamika kebijakan dengan tingkat intensitas yang relatif tinggi mengindikasikan ketidak puasan berbagai pihak terkait terhadap rumusan kebijakan, implementasi, dan dampaknya bagi petani dan pembangunan pertanian. Bahasan ini akan membahas secara ringkas kinerja kebijakan tersebut dan mengajukan pola introduksi distribusi pupuk ke depan (Sudaryanto, et.al., 2005).
Bahasan ini akan difokuskan pada kinerja kebijakan subsidi pupuk era pasar bebas yang dipicu oleh adanya peningkatan harga gas sejak tahun 2000 yang akhirnya mendorong pemerintah memberikan kembali subsidi pupuk sejak tahun 2001. Secara ringkas kinerja subsidi pupuk pada periode sebelumnya dapat dinyatakan (Sudaryanto, et.al., 2005) sebagai berikut:
(a) Kinerja subsidi sebelum era pasar bebas: mampu mendorong tercapainya swasembada beras 1984; pengurangan subsidi perlu dikompensasi dengan peningkatan harga produksi; dan peningkatan harga pupuk tidak berpengaruh terhadap penggunaannya, karena proporsinya dalam biaya usahatani masih relatif keci!;
(b) Penghapusan subsidi memasuki era pasar bebas: penghapusan monopoli telah mengefisienkan distribusi pupuk; subsidi pupuk dinilai iebih adil dibandingkan dengan subsidi gas untuk pabrik pupuk;
(c) Kebijakan pemberian kembali subsidi pupuk: format ROSP (Rencana Operasional Subsidi Pupuk) memungkinkan pabrik pupuk memperoleh subsidi langsung dari pemerintah; subsidi untuk pabrik pupuk, dan bukan untuk petani; struktur subsidi hanya menguntungkan pabrk pupuk.
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa kebijakan subsidi pupuk pada era pasar bebas ini dinilai tidak efektif untuk membantu petani. Hal ini dibuktikan oleh beberapa fakta berikut ini:
(a) Harga pupuk di tingkat petani jauh di atas harga HET
(b) Pasokan pupuk di tingkat petani seringkali langka karena konskuensi dari dualisme pasar, ekspor pupuk, dan keterbatasan penyaluran oleh pabrik pupuk. Fenomena langka pasok dan lonjak harga pupuk merupakan kasus menyimpang yang tidak semestinya terjadi. Produksi pupuk urea dalam negeri jauh melebihi kebutuhan dan distribusinya dikendalikan pemerintah. Berdasarkan fenomena di atas PSE-KP secara tegas menyarankan "kembalikan subsidi pupuk kepada petani" (Simatupang, 2004).

Daftar pustaka

Hafsah, M.J. dan T. Sudaryanto. 2004. Sejarah Intensifikasi Padi dan Prospek Pengembangannya. Ekonomi Padi dan Beras Indonesia. (Ed. F. Kasryno, et.ai., 2004). Badan Litbang Pertanian, Jakarta.

Simatupang, P. 2004. Kembalikan Subsidi Pupuk kepada Petani. Kompas, 19 Mei 2004. Jakarta.

Simatupang, P. dan I W. Rusastra. 2004. Kebijakan Ekonomi Perberasan Nasional. Ekonomi Padi dan Beras Indonesia. (Ed. F. Kasryno, et.al., 2004). Badan Litbang Pertanian, Jakarta.

Sudaryanto, T., N. Syafa'at, K. Kariyasa, Syahyuti, Azhari, dan M. Maulana. 2005. Pandangan Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Terhadap Kinerja Kebijakan Subsidi Pupuk Selama Ini dan Perbaikannya Ke Depan. PSEKP, Badan Litbang Pertanian, Bogor.