Minggu, 19 Juni 2011

TUTORIAL - EKSPLORASI PERAN PEMERINTAH DALAM SUBSIDI PUPUK BAGI PETANI

Oleh : Anggraheni Wahyuningratri
AGROEKOTEKNOLOGI A /0910480017

Sejarah tentang diberlakukannya Subsidi Pupuk dan
Nilai APBN untuk Subsidi Pupuk


Pertambahan penduduk Indonesia yang pesat semenjak kemerdekaan berakibat meningkatnya kebutuhan pangan (terutama beras). Pada mulanya Indonesia sangat tergantung pada beras impor karena produksi dalam negeri tidak mampu mencukupi kebutuhan yang sangat besar. Tetapi dengan berjalannya waktu, mengingat ketahanan pangan merupakan komponen penting dari ketahanan nasional dan melihat potensi sumberdaya pertanian Indonesia yang sangat besar namun belum digarap secara maksimal, pemerintah berketetapan untuk mengurangi sedikit demi sedikit ketergantungan akan beras impor ini dengan harapan suatu saat akan tercapai swasembada pangan.( Hafsah, M.J. dan T. Sudaryanto,2004)
Program peningkatan produksi padi dilaksanakan dengan cara ekstensifikasi dan intensifikasi produksi. Dalam rangka memacu produksi inilah peranan pupuk sangat krusial. Kebutuhan pupuk awalnya pun masih harus dipenuhi dari impor, tetapi karena mengingat gas alam sebagai bahan baku utama pembuatan pupuk tersedia cukup berlimpah di Indonesia, pemerintah memutuskan membangun sendiri pabrik pupuk. Sejarah perpupukan nasional dimulai dengan berdirinya Pupuk Sriwijaya (Pusri) yang dibangun dengan dana rampasan perang Jepang dan mulai berproduksi pada tahun 1963, diikuti oleh Petrokimia Gresik pada 1972, Pupuk Kujang pada 1978, Asean Aceh Fertilizer (AAF, proyek patungan antara negara‐negara ASEAN) pada 1983, serta Pupuk Kaltim (PKT) dan Pupuk Iskandar Muda pada 1984.( Hermanto. 1992)










Pemerintah berpendapat bahwa mengingat arti strategisnya komoditas pupuk, harga pupuk tidak dapat diserahkan begitu saja pada mekanisme pasar, karena fluktuasi harga akan mengakibatkan perubahan daya beli petani, konsentrasi pemupukan, dan pada akhirnya volume dan kualitas panen. Apalagi kenaikan harga pupuk tidak dengan sendirinya diikuti kenaikan harga gabah. Di satu sisi harga pupuk harus dipertahankan cukup rendah agar terjangkau oleh petani, di lain pihak keekonomian produksi pupuk juga harus dijaga agar industri pupuk tidak mengalami kerugian.
Teriepas dari segala kekurangannya, pemerintah Orde Baru memiliki komitmen tinggi membangun sistem agribisnis padi sehingga swasembada beras dapat diraih pada tahun 1984. Keterkaitan tersebut dapat dipandang sebagai prestasi luar biasa karena beranjak dari kondisi sistem agribisnis yang sangat parah dan volume impor terbesar di dunia, serta dalam kondisi permintaan beras domestik meningkat pesat dengan konsekuensi tingginya iaju pertumbuhan penduduk dan tingkat pendapatan per kapita.
Kebijakan subsidi pupuk dibuat Menteri Pertanian periode 2000 – 2004. Kenapa subsidi pupuk itu diberikan? Alasannya, saat itu kita mengalami krisis ekonomi dan moneter, serta krisis pangan. Saat itu kita mengimpor beras sekitar 5 juta ton dan ingin impor berkurang bahkan swasembada. Satu-satunya jalan agar jangan impor beras berarti produksi dalam negeri harus meningkat. Jika produksi dalam negeri ingin ditingkatkan, maka petani harus bergairah dalam berproduksi. Petani akan bergairah jika mendapatkan keuntungan.
Di sisi lain, pada saat itu kita menandatangani Letter of Intent (LoI) dengan IMF yang salah satu poinnya adalah menghilangkan semua hambatan impor. Selain itu, di pasar dunia terjadi excess supply pangan yang mengakibatkan harga pangan dunia rendah sekali sehingga mengimpor sangat menguntungkan apalagi hambatannya dihilangkan.
Pilar keberhasilan tersebut ialah adanya terobosan teknologi dan paket kebijakan komprehensif (Simatupang dan Rusastra, 2004). Pilar pertama adalah momentum perkembangan teknologi Revolusi Hijau yang berada pada fase percepatan pada tahun 1970-an. Pilar kedua ialah paket mega-kebijakan yang mencakup semua elemen penopang agribisnis yaitu "Lima I": sistem inovasi, infrastruktur, investasi, insentif, dan institusi. Namun sejak akhir tahun 1980-an kedua pilar ini mengalami pengurangan. Teknologi revolusi hijau telah menunjukkan gejala stagnasi, sementara paket kebijakan perberasan mengalami dekonstraksi. Usahatani padi telah menunjukkan gejala sindrom overintensifikasi yang menyebabkan perlambatan pertumbuhan hasil dan total faktor produksi.
Ekstensifikasi sawah makin sulit dilakukan dan bahkan di Jawa luas sawah baku cenderung menurun. Akibatnya, Iaju produksi beras menurun dan makin tidak stabil. Hal inilah yang menyebabkan swasembada beras tidak dapat dipertahankan. Sejak awal tahun 1990-an Indonesia kembali menjadi importer beras terbesar di dunia.
Revitalisasi sistem agribisnis merupakan program mendesak guna menstabilkan pertumbuhan produksi beras yang sangat strategis dalam pemantapan swasembada pangan, peningkatan pendapatan petani, dan dinamisasi ekonomi desa. Untuk itu kebijakan pangan nasional perlu direkonstruksi secara komprehensif. Pemerintah perlu memikirkan paket kebijakan pengembangan produksi pangan utama secara komprehensif, dan tidak hanya terbatas pada harga dasar gabah saja.


Kebijakan Subsidi Pupuk
Dinamika kebijakan subsidi pupuk dapat dibedakan menjadi empat tahapan yaitu
- kebijakan subsidi sebelum era pasar bebas,
- kebijakan penghapusan subsidi memasuki pasar bebas,
- kebijakan pemberian kembali subsidi pupuk, dan
- kebijakan subsidi pupuk era pasar bebas.
Dinamika kebijakan dengan tingkat intensitas yang relatif tinggi mengindikasikan ketidak puasan berbagai pihak terkait terhadap rumusan kebijakan, implementasi, dan dampaknya bagi petani dan pembangunan pertanian. Bahasan ini akan membahas secara ringkas kinerja kebijakan tersebut dan mengajukan pola introduksi distribusi pupuk ke depan (Sudaryanto, et.al., 2005).
Bahasan ini akan difokuskan pada kinerja kebijakan subsidi pupuk era pasar bebas yang dipicu oleh adanya peningkatan harga gas sejak tahun 2000 yang akhirnya mendorong pemerintah memberikan kembali subsidi pupuk sejak tahun 2001. Secara ringkas kinerja subsidi pupuk pada periode sebelumnya dapat dinyatakan (Sudaryanto, et.al., 2005) sebagai berikut:
(a) Kinerja subsidi sebelum era pasar bebas: mampu mendorong tercapainya swasembada beras 1984; pengurangan subsidi perlu dikompensasi dengan peningkatan harga produksi; dan peningkatan harga pupuk tidak berpengaruh terhadap penggunaannya, karena proporsinya dalam biaya usahatani masih relatif keci!;
(b) Penghapusan subsidi memasuki era pasar bebas: penghapusan monopoli telah mengefisienkan distribusi pupuk; subsidi pupuk dinilai iebih adil dibandingkan dengan subsidi gas untuk pabrik pupuk;
(c) Kebijakan pemberian kembali subsidi pupuk: format ROSP (Rencana Operasional Subsidi Pupuk) memungkinkan pabrik pupuk memperoleh subsidi langsung dari pemerintah; subsidi untuk pabrik pupuk, dan bukan untuk petani; struktur subsidi hanya menguntungkan pabrk pupuk.

Hasil kajian PSE KP terhadap kinerja subsidi puupk pada era pasar bebas diperoleh beberapa informasi penting (Sudaryanto, et.al., 2005) sebagai berikut:
(a) Konstruksi kebijakan menimbulkan dualisme pasar dan rawan terhadap penyimpangan;
(b) Terjadinya ekspor ilegal karena harga di pasar dunia Iebih menarik;
(c) Pengalihan atau pencabutan subsidi pupuk dapat menimbulkan lonjakan harga pupuk domestik;
(d) Peluang terjadinya kelangkaan pasokan cukup besar sebagai akibat dari kesalahan manajemen;
(e) Subsidi input Iebih mudah dibandingkan subsidi harga output pertanian;
(f) Kebijakan subsidi pupuk dinilai tidak efektif, dan disarankan agar subsidi pupuk dikembalikan lagi kepada petani.

Terdapat beberapa justifikasi kenapa subsidi pupuk Iebih mudah dibandingkan dengan subsidi harga output pertanian, yaitu:
(a) Sebagian besar petani menghadapi kendala biaya produksi dengan orientasi minimisasi biaya, sehingga insentif input Iebih sesuai;
(b) Insentif input Iebih mudah mengakselerasi adopsi teknologi guna meningkatkan produktivitas dibanding insentif output;
(c) Apabila pengelolaan subsidi menggunakan prinsip bergaransi dan profesionalisme, maka penjaminan harga Iebih mudah dicapai pada input dibandingkan output. Pasokan pupuk (terutama Urea) diproduksi di dalam negeri dan harga domestik (subsidi) lebih rendah dari harga internasional. Sementara itu pasokan beras masih membutuhkan dukungan impor, yang harganya jauh lebih rendah dibandingkan harga yang didukung pemerintah (HPP). Dengan keterbatasan kemampuan menangani penyelundupan, maka membatasi rembesan (ke luar) pupuk akan lebih mudah dibandingkan rembesan (ke dalam) beras.

Fakta di lapangan menunjukkan bahwa kebijakan subsidi pupuk pada era pasar bebas ini dinilai tidak efektif untuk membantu petani. Hal ini dibuktikan oleh beberapa fakta berikut ini:
(a) Harga pupuk di tingkat petani jauh di atas harga HET; dan
(b) Pasokan pupuk di tingkat petani seringkali langka karena konskuensi dari dualisme pasar, ekspor pupuk, dan keterbatasan penyaluran oleh pabrik pupuk.
Fenomena langka pasok dan lonjak harga pupuk merupakan kasus menyimpang yang tidak semestinya terjadi. Produksi pupuk urea dalam negeri jauh melebihi kebutuhan dan distribusinya dikendalikan pemerintah. Berdasarkan fenomena di atas PSE-KP secara tegas menyarankan "kembalikan subsidi pupuk kepada petani" (Simatupang, 2004).

Mekanisme Implementasi Kebijakan Harga Dasar dan
Harga Tertinggi serta Kendala yang dihadapi Pemerintah

Beban subsidi ini timbul sebagai konsekuensi dari adanya kebijakan pemerintah dalam rangka penyediaan pupuk bagi petani dengan harga jual pupuk yang lebih rendah dari harga pasar.
Tujuan utama subsidi pupuk adalah agar harga pupuk di tingkat petani dapat tetap terjangkau oleh petani, sehingga dapat mendukung peningkatan produktivitas petani, dan mendukung program ketahanan pangan.
Beban subsidi pupuk dipengaruhi oleh
(1) biaya pengadaan pupuk yang bersubsidi yang merupakan selisih antara harga eceran tertinggi (HET) dengan harga pasar (Rp/kg), dan
(2) cakupan volume (ribu ton) pupuk yang memperoleh subsidi. Khusus untuk urea, HET dipengaruhi oleh masukan bagi produsen pupuk berupa pasokan gas. Karena harga gas diperhitungkan dalam dolar (US$/MMBTU), besaran subsidi urea juga dipengaruhi oleh kurs dolar. Selain HET, harga gas, dan kurs, subsidi pupuk juga dipengaruhi oleh biaya transportasi ke daerah terpencil dan biaya pengawasan. Atau secara matematisnya, Subsidi Pupuk = (HET – Harga Pasar) x Volume + Transportasi + Pengawasan. Besar beban subsidi dapat dinaikkan atau diturunkan dengan cara melakukan penyesuaian terhadap faktor-faktor tersebut di atas. Misalkan, untuk mengurangi beban subsidi pupuk dapat dilakukan dengan cara menaikan HET, akan tetapi karena daya beli petani yang masih rendah kenaikan HET yang terlalu tinggi akan memberatkan petani.
Penyaluran subsidi pupuk melalui beberapa BUMN produsen pupuk. Ada lima BUMN produsen pupuk yang menerima subsidi pupuk urea (PT Pupuk Sriwijaya, PT Pupuk Kalimantan Timur, PT Pupuk Petrokimia Gresik, PT Pupuk Kujang, dan PT Pupuk Iskandar Muda) dan satu BUMN produsen pupuk yang mendapat subsidi pupuk non-urea yaitu PT Pupuk Petrokimia Gresik. Pola pemberian subsidi pada tahun 2006 direncanakan dilakukan melalui pemberian subsidi atas harga gas sebagai bahan baku produksi pupuk, dan diberikan untuk jenis pupuk urea, ZA, SP-36, dan NPK yang diproduksi BUMN produsen pupuk bersubsidi. Perubahan pola dari subsidi gas ke subsidi harga diharapkan akan dapat mencegah kenaikan HET pupuk serta mengatasi persoalan pasokan gas yang sering dialami oleh industri pupuk.
Grafik 10 menyajikan perkembangan subsidi pupuk selama periode 2003-2006 yang menunjukkan bahwa selama tiga tahun terakhir subsidi pupuk mengalami peningkatan. Beban subsidi pupuk 2006 lebih tinggi daripada rata-rata selama tiga tahun (2003-2005) yang sebesar 0,06 persen terhadap PDB.


Kendala Pemerintah

Salah satu faktor yang membuat rumitnya menyampaikan subsidi pupuk langsung sampai ke petani adalah tingkat pendidikan petani sangat rendah. Pola dan cara menyampaikan subsidi pupuk langsung ke petani bermacam-macam, ada yang memakai chip, kartu, membeli pupuk menggunakan ATM kemudian diperhitungkan subsidinya langsung masuk rekening petani, memberikan uang tunai melalui kelompok tani, dan lain lain. Berbagai mekanisme tersebut sulit dan belum mampu dipahami para petani. Walaupun sudah dilakukan studi banding ke beberapa negara, namun karena perbedaan tingkat pendidikan petani, akibatnya meka-nisme pemberian subsidi pupuk langsung kepada petani tetap sulit diterapkan kepada petani di Indonesia.
Misalnya uji coba memberikan subsidi pupuk langsung kepada petani di Kabupaten Karawang berhasil, namun sebelum diberlakukan secara nasional masih perlu dilakukan uji coba lagi di masing-masing provinsi penghasil beras di Jawa dan luar Jawa. Hal itu dimaksudkan agar petani benar-benar memahami mekanisme penyaluran subsidi pupuk langsung ke petani. Karena uji coba di Kabupaten Karawang tidak berhasil, KTNA mengharapkan pemberian subsidi pupuk kepada petani dikembalikan ke sistem lama, sambil menunggu ditemukan cara yang efektif dan tepat sasaran dalam menyampaikan subsidi pupuk langsung kepada petani.
Kebutuhan pupuk ke sektor pertanian tanaman pangan hanya 10% dari biaya produksi. Sehingga petani umumnya tidak tahu bahwa harga pupuk yang dibeli mengandung subsidi. Supaya petani tahu ada pupuksubsidi dan non-subsidi, hendaknya kios resmi penjual pupuk bersubsidi harus dibedakan dengan kios penjual pupuk non-subsidi. Kios-kios penjual pupuk di kawasan pertanian tanaman pangan seharusnya semuanya adalah kios yang menjual pupuk bersubsidi. Sedangkan pupuk non-subsidi harus dijual pada kios-kios di daerah perkebunan. (Simatupang, P. dan I W. Rusastra. 2004)
Kendala lain yang dihadapi dalam memberikan subsidi pupuk langsung kepada petani terletak pada masalah kurangnya sosialisasi kepada petani. Kios-kios milik distributor dan pengecer resmi yang menyalurkan pupuk bersubsidi dari pabrik pupuk tertentu harus diberi warna cat berbeda dengan kios-kios milik distributor dan pengecer resmi pupuk bersubsidi dari pabrik pupuk yang lain. Bisa dicontoh tempat pengisian BBM milik Pertamina warna catnya berbeda dengan pengisian BBM milik swasta asing. Seharusnya kios-kios milik distributor dan pengecer resmi pupuk bersubsidi yang menyalurkan produksi pabrik pupuk tertentu juga menggunakan warna/cat berbeda dibanding kios-kios milik distribute dan pengecer resmi pabrik pupukyang lain. Dengan demikian masyarakat dan petani mudah mengontrol apabila kios-kios pengecer resmi tersebut menjual pupuk bersubsidi di atas HET (Harga Eceran Tertinggi).
Dari sisi pabrik pupuk, mekanisme pemberian subsidi pupuk langsung ke petani lebih bagus, karena pabrik pupuk tidak repot-repot mengurus mencairkan subsidi pupuk ke pemerintah. Sering pabrik pupuk menghadapi kendala keterlambatan pencairan subsidi pupuk dalam waktu cukup lama, sehingga mengganggu cash-flow perusahaan. (Waluyo dan A. Djauhari. 1992)

Daftar Pustaka

Hafsah, M.J. dan T. Sudaryanto. 2004. Sejarah Intensifikasi Padi dan Prospek Pengembangannya. Ekonomi Padi dan Beras Indonesia. (Ed. F. Kasryno, et.ai., 2004). Badan Litbang Pertanian, Jakarta.
Hermanto. 1992. Keragaan Penyaluran Kredit Pertanian: Suatu Analisis Data Makro. Perkembangan Perkreditan Pertanian di Indonesia (Ed. A.H. Taryoto, 1992). Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.
Nurmanaf, A.R., I W. Rusastra, V. Darwis, Y. Marisa, dan J. Situmorang. 2003. Evaluasi Sistem Distribusi Benih dan Pupuk dalam Mendukung Ketersediaan dan Stabilisasi Harga di Tingkat Petani. Pusat Litbang Sosek Pertanian, Bogor.
PSEKP. 2005. Justifikasi Subsidi Benih. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Badan Litbang Pertanian, Bogor.
Simatupang, P. dan I W. Rusastra. 2004. Kebijakan Ekonomi Perberasan Nasional. Ekonomi Padi dan Beras Indonesia. (Ed. F. Kasryno, et.al., 2004). Badan Litbang Pertanian, Jakarta.
Simatupang, P. 2004. Kembalikan Subsidi Pupuk kepada Petani. Kompas, 19 Mei 2004. Jakarta.
Soentoro, Supriyati, dan E. Jama!. 1992. Sejarah Perkreditan Subsektor Tanaman Pangan. Perkembangan Perkreditan Pertanian di Indonesia (Ed. A.H. Taryoto, 1992). Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.
Sudaryanto, T., N. Syafa'at, K. Kariyasa, Syahyuti, Azhari, dan M. Maulana. 2005. Pandangan Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Terhadap Kinerja Kebijakan Subsidi Pupuk Selama Ini dan Perbaikannya Ke Depan. PSEKP, Badan Litbang Pertanian, Bogor.
Sumaryanto. 1992. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keputusan Petani untuk Meminjam Kredit Usahatani. Perkembangan Perkreditan Pertanian di Indonesia (Ed. A.H. Taryoto, 1992). Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.
Waluyo dan A. Djauhari. 1992. Kendala Penyaluran dan Pengembalian Kredit Usahatani. Perkembangan Perkreditan Pertanian di Indonesia (Ed. A.H. Taryoto, 1992). Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar