Minggu, 19 Juni 2011

TUTORIAL - MENGIDENTIFIKASI KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM TATA NIAGA PERKEBUNAN SAWIT di INDONESIA

Oleh :Adhytya Cahya Darmawan
AGROEKOTEKNOLOGI A /0910480004

PENDAHULUAN

Dengan potensi sumber daya alamnya, Indonesia dikenal sebagai produsen utama komoditas dari tanaman tropis, yaitu tanaman perkebunan seperti karet, kopi, kelapa sawit, kelapa, kakao, teh, lada dan lainlainnya yang sebagian besar diekspor. Indonesia saat ini dikenal sebagai salah satu produsen dan pengekspor utama dunia untuk komoditas-komoditas perkebunan tersebut. Pada sektor pertanian, sub sektor perkebunan memainkan peran penting melalui kontribusinya dalam penerimaan ekspor, disamping kontribusi lainnya.
Terlepas dari kontribusi positif dalam penerimaan ekspor, total nilai ekspor yang berasal dari produk perkebunan masih berpotensi untuk dapat ditingkatkan lagi. Dalam kebijakan pembangunan industri dan perdagangan nasional (2005-2009) dinyatakan bahwa kontribusi ekspor hasil pertanian hanya 4% dari total nilai ekspor Indonesia (Departemen Perdagangan, 2005). Seperti diketahui, komoditas pertanian terutama komoditas utama perkebunan memiliki potensi untuk berkontribusi lebih tinggi dalam penerimaan ekspor.
Masalah bisnis ekspor komoditas perkebunan, termasuk minyak sawit, diperkirakan beraitan erat dengan biaya operasional, pasar/pemasaran dan sarana penunjang (Departemen Perdagangan, 2005). Masalah ekonomi biaya tinggi di Indonesia diperkirakan menimbulkan masalah efisiensi usaha bagi pengekspor komoditas perkebunan, termasuk minyak sawit. Selain kondisi masalah internal pengekspor, berbagai kebijakan pemerintah diperkirakan ikut berkontribusi terhadap masalah biaya operasional pengekspor.
Departemen Perdagangan (2005) juga menyatakan bahwa masalah sarana penunjang merupakan masalah yang tak kalah penting dalam upaya menjadi pemasok internasional komoditas utama perkebunan. Sarana penunjang dimaksud khususnya di bidang keuangan (modal dan bunga), asuransi dan pengangkutan (fasilitas dan jaringan pengangkutan). Dengan tingkat persaingan internasional yang semakin tinggi dan proses globalisasi berjalan makin cepat, maka sarana penunjang tersebut menjadi sangat strategis dalam menentukan pengembangan ekspor komoditas utama perkebunan.
Akhir-akhir ini industri kelapa sawit cukup marak dibicarakan, karena dunia saat ini sedang ramai-ramainya mencari sumber energi baru pengganti minyak bumi yang cadangannya semakin menipis. Salah satu alternatif pengganti tersebut adalah energi bio diesel dimana bahan baku utamanya adalah minyak mentah kelapa sawit atau yang lebih dikenal dengan nama Crude Palm Oil (CPO). Bio diesel ini merupakan energi alternatif yang ramah lingkungan, selain itu sumber energinya dapat terus dikembangkan, sangat berbeda dengan minyak bumi yang jika cadangannya sudah habis tidak dapat dikembangkan kembali.
Pertumbuhan permintaan CPO tidak hanya disebabkan dengan adanya pengembangan energi alternatif tersebut, tetapi juga disebabkan kenaikan permintaan yang disebabkan oleh pertumbuhan industri hilirnya. Indonesia sebagai produsen utama bersama Malaysia seharusnya dapat memperoleh keuntungan dari keadaan tersebut, dengan berkonsentrasi membangun industri kelapa sawit dan infrastruktur pendukungnya.

Perkembangan Minyak Kelapa Sawit Dunia
Konsumsi minyak sawit (CPO ) dunia dari tahun ke tahun terus menunjukkan tren meningkat. Pertumbuhan akan permintaan CPO dunia dalam 5 (lima) tahun terakhir, rata-rata tumbuh sebesar 9,92%. China dengan Indonesia merupakan negara yang paling banyak menyerap CPO dunia. Selain itu negara Uni Eropa juga termasuk konsumen besar pengkomsumsi CPO di dunia.
Seiring dengan meningkatnya konsumsi dunia, ekspor CPO dalam 5 (lima) tahun terakhir juga menunjukkan tren meningkat, rata-rata peningkatannya adalah sebesar 11%. Eksportir terbesar didunia didominasi oleh Malaysia dan Indonesia, kedua negara tersebut menguasai 91% pangsa pasar ekspor dunia. Papua Nugini berada di urutan ke 3 dengan perbedaan share yang cukup jauh yaitu hanya berkisar 1,3% (Grafik 1).
Diprediksikan peningkatan konsumsi dan ekspor ini akan terus berlanjut bahkan dalam persentase yang lebih besar mengingat faktor yang mendukung hal tersebut cukup banyak, seperti: pertumbuhan penduduk, pertumbuhan industri hilir, perkembangan energi alternatif, dll. Malaysia dan Indonesia diprediksikan akan terus menjadi pemain utama dalam ekspor CPO ini, mengingat belum ada perkembangan yang signifikan dari negara pesaing lainnya. Bahkan Indonesia diprediksikan akan menyalip Malaysia baik dalam produksi maupun ekspor CPO, karena didukung oleh luas lahan yang tersedia dimana Malaysia sudah mulai terbatas.



Harga Komoditas Perkebunan di Pasar Internasional
Memasuki awal abad 21, masalah harga produk primer perkebunan tampaknya tidak akan mengalami perubahan yang signifikan dibandingkan dengan periode sebelumnya. Harga produk primer perkebunan di pasar internasional yang merupakan pasar utama produk primer perkebunan Indonesia diperkirakan akan masih mengalami tekanan. Sebagai contoh, rata-rata harga karet selama 25 tahun terakhir adalah sekitar US$ 1,1/kg. Pada tiga tahun terkhir, harga karet mencapai titik terendah, dengan kisaran US$ cent 0.6-0.7/kg. Hal yang sama juga tampaknya berlaku untuk harga CPO yang pada akhir tahun 2000 berkisar antara US$ 225- 250 per ton. Nasib harga kopi dan kakao juga tidak jauh berbeda. Harga kakao biji dan kopi robusta umumnya di atas US$ 1/kg, sedangkan kini hanya berkisar antara US$ 0.6-0.8/kg. Menurunnya harga komoditas perkebunan tersebut tentu merupakan tekanan berat bagi pelaku bisnis perkebunan.
Memasuki awal abad 21, khususnya tahun 2001, harga produk perkebunan diperkirakan lebih tinggi dari harga yang terjadi pada akhir tahun 2000. Hal ini lebih disebabkan oleh factor psikologis di mana harga-harga produk perkebunan tahun 2000 dianggap sebagai harga titik terendah. Memasuki tahun 2001, harga diperkirakan akan meningkat. Namun demikian, peningkatan tersebut tidak akan melonjak, kecuali ada penyebab ekstrim, seperti frost di Brazil yang dapat meningkatkan harga kopi lebih dari 100 persen. Dengan kenaikan yang bersifat moderat, maka harga komoditas perkebunan akan meningkat tetapi belum mencapai harga booming-nya. Sebagai contoh, harga CPO akan bergerak antara US$ 300-350/ton, sedangkan harga karet adalah sekitar US$ 700-900/ton.
Masalah kedua yang masih terkait dengan harga adalah bahwa fluktuasi harga produk perkebunan juga masih akan terjadi. Seperti diuraikan sebelumnya, fluktuasi harga komoditas perkebunan sudah merupakan ciri dari pasar komoditas tersebut. Penyebab fluktuasi harga bersifat kompleks yang menyangkut faktor alam (iklim), biologis (masa tanaman belum menghasilkan yang lama) sehingga penawaran jangka pendek menjadi tidak elastis. Ditambah dengan sisi permintaan yang juga tidak elastis, maka fluktuasi harga komoditas perkebunan masih akan menjadi fenomena yang harus disiasati pada masa-masa mendatang.



Analisis Kebijakan Pemerintah untuk Industri Minyak Kelapa Sawti Indonesia
Karena merupakan komoditi yang paling penting bagi Indonesia, maka pemerintah merasa perlu untuk turut mengatur sistem tata niaga kelapa sawit beserta produk-produknya terutama CPO. Wujud campur tangan pemerintah ini ada tiga, yaitu
- pertama: pengaturan alokasi CPO,
- kedua: pembentukan sistem pengawasan secara langsung terhadap pasokan dan harga domestik, ketiga:
- pembatasan dan pelarangan ekspor CPO.
Kebijakan mengenai tata niaga minyak kelapa sawit khususnya CPO dan PKO pertama kali dikeluarkan pemerintah pada tahun 1978 dan terus diperbaharui hingga sekarang. Tujuan utama penetapan kebijakan-kebijakan tersebut adalah tidak lain untuk menjamin agar pasokan CPO dalam negeri tetap stabil, sehingga harga minyak goreng di dalam negeri tetap stabil.
Setelah penyediaan bahan baku CPO bagi industri minyak goreng di dalam negeri cukup, maka sejak tanggal 3 Juni 1991 sistem tata niaga kelapa dan kelapa sawit dibebaskan. Seandainya terjadi kekurangan bahan baku minyak goreng, maka produsen bebas mengimpor CPO dengan bea masuk 5%. Akibat kebebasan ekspor tersebut serta didukung oleh baiknya harga CPO di pasar internasional, maka terjadilah kelangkaan CPO di dalam negeri.
Pada bulan Juli tahun 1992 melalui paket deregulasi, pemerintah menetapkan bahwa minyak goreng kelapa sawit termasuk dalam daftar negatif investasi (tertutup) bagi semua investor, baik untuk PMA, PMDN, maupun non PMA/PMDN. Investasi diizinkan bila dilakukan secara terpadu dengan pengembangan perkebunan kelapa sawitnya atau dengan penyediaan bahan baku sekurang-kurangnya 65% dari hasil produksinya yang diekspor. Sementara itu tariff bea tambahan yang semula 20% dihapuskan agar produsen dalam negeri dapat bersaing dengan produk-produk luar yang masuk.
Keberhasilan ekspor CPO dengan pembebasan sistem tata niaga serta didukung oleh naiknya harga CPO di pasaran internasional kembali mengakibatkan terjadinya kelangkaan CPO di dalam negeri bagi pasok bahan baku khususnya industri minyak goreng. Untuk mengerem laju ekspor tersebut maka pada bulan September 1994 pemerintah mengeluarkan kebijakan pengenaan pajak ekspor (PE) progresif untuk CPO dan produk turunannya melalui SK Menteri Keuangan.

Pada pertengahan 1995, peran pemerintah (BULOG) dalam menstabilkan harga minyak sawit ditingkatkan lagi melalui kerja sama dengan perusahaan perkebunan Negara menghimpun buffer stock CPO dan selanjutnya bekerjasama dengan industri minyak goring swasta melakukan operasi pasar minyak goreng pada saat menjelang tahun baru dan hari raya Idul Fitri.
Untuk memberikan kesempatan kepada pemodal dalam negeri (PMDN), sejak bulan Maret 1997, pemerintah membekukan sementara investasi penanaman modal asing dalam bidang perkebunan kelapa sawit, sedangkan izin bagi investasi Penanaman Modal Asing did proyek minyak kelapa sawit mentah (CPO) dibatasi.
Memasuki masa krisis moneter, pada bulan Juli 1997 pemerintah menurunkan PE CPO dan produk turunannya dari sekitar 10% sampai 12% menjadi 2% sampai 5%. Sistem perpajakan ini menekankan struktur tarif PE yang diharmonisasikan dengan memberikan beban yang lebih besar pada ekspor bahan baku dan beban lebih ringan pada ekspor barang jadi.
Pada bulan Desember 1997, melalui SK Menteri Keuangan pemerintah mengeluarkan peraturan mengenai pajak ekspor tambahan (PET) yang diberlakukan mulai tanggal 17 Desember 1997. Kemudian untuk mengamankan persediaan minyak goreng di dalam negeri terutama menjelang hari-hari raya, maka pemerintah melalui SK Memperindag mengatur alokasi pasokan dalam negeri yang diberlakukan mulai tanggal 19 Desember 1997. Selain itu pemerintah telah menunjuk 17 kelompok perusahaan kelapa sawit untuk memberikan kuota 80% produksinya untuk industri minyak dalam negeri. Bagi perusahaan yang melanggar kuota tersebut, pemerintah menaikkan PE tambahan sesuai dengan SK Menteri Keuangan tersebut yaitu berkisar antara 28-30%. Tarif PE tersebut dikenakan dengan catatan harga minyak goreng dalam negeri mencapai Rp. 1.250/kg dan besarnya ditetapkan bervariasi 40-70%.
Besarnya tarif PE dari tiap-tiap jenis dikelompokkan ke dalam 6 tingkat tarif yang didasarkan pada perkalian besarnya tarif dengan selisih harga ekspor (HE) dan harga dasar (HD) yang telah ditentukan. Beberapa hari kemudian tepatnya tanggal 24 Desember 1997 pemerintah menetapkan larangan ekspor CPO melalui SK Dirjen Perdagangan Dalam Negeri sebagai tindak lanjut kebijakan pembatasan ekspor sebelumnya.
Selanjutnya dalam rangka mengendalikan harga minyak goreng di dalam negeri, pemerintah melalui Surat Menteri Kehutanan dan Perkebunan tanggal 22 April 1998, mengatur beberapa hal, yaitu melalui penyaluran CPO PTPN kepada perusahaan pengolah CPO yang telah ditunjuk, pendistribusian minyak disalurkan oleh BULOG, pembatalan kontrak (outstanding contract), serta pengaturan pembayaran minyak goreng secara cash flow.
Pada pertengahan tahun 1998, tingginya harga CPO di pasar internasional serta rendahnya nilai kurs Rupiah terhadap US$ kembali mendorong lajunya ekspor CPO. Hal ini tentu saja kembali mengakibatkan langkanya pasokan CPO dalam negeri. Oleh karena itu pada bulan Juli 1998 pemerintah menaikkan PE CPO yang semula 40% menjadi 60%. Setelah dianggap pasokan CPO telah mencukupi sehingga harga minyak goring kembali turun, maka pada awal tahun 1999 pemerintah kembali menurunkan PE CPO yang semula 60% menjadi 40%. Namun pemerintah melarang ekspor CPO produksi PTPN. Beberapa saat yang lalu tepatnya pada tanggal 3 Juni 1999, pemerintah kembali menurunkan PE CPO sebesar 10%, yaitu yang semula 40% turun menjadi 30%. Menurut
Deperindag, tujuan penurunan PE CPO ini adalah sebagai latihan untuk mengamankan harga minyak dalam negeri. Selanjutnya penurunan akan dilakukan secara bertahap setelah mengkaji kondisi pasar dalam negeri dan pasar internasional. Dalam tabel berikut dapat dilihat ringkasan-ringkasan kebijakan pemerintah untuk produk kelapa sawit yang dilekuarkan sejak tahun 1978 hingga tahun 2000.















1. Pengaturan Alokasi CPO
Meningkatnya nilai tukar rupiah akan menyebabkan meningkatnya penawaran ekspor CPO Indonesia. Pemberlakuan pajak ekspor seharusnya mengurangi penawaran ekspor CPO Indonesia. Sayangnya secara statistik dampak pemberlakuan pajak ekspor ini tidak signifikan. Berarti tidak ada perubahan yang berarti pada periode sebelum dan sesudah di berlakukan kebijakan pajak ekspor. Produsen tetap memilih mengekspor CPO ke pasar intenasional daripada pasar domestik, karen harga di pasar dunia lebih tinggi dibandingkan dengan harga di pasar domestik.
Penawaran ekspor CPO Indonesia akan mempengaruhi penawaran CPO domestik. Penawaran ekspor dan penawaran domestik memiliki arah yang berlawanan. Ketika penawaran ekspor CPO Indonesia berkurang artinya penawaran CPO dalam negeri akan meningkat. Produksi CPO Indonesia memiliki hubungan yang positif terhadap penawaran CPO domestik Indonesia. Dengan produksi Indonesia yang meningkat artinya pasokan CPO di pasar terutama pasar domestik akan meningkat. Impor CPO ke pasar domesti Indonesia memliki hubungan yang positif terhadap penawaran CPO domestik. Artinya, dengan meningkatnya jumlah impor CPO ke pasar domestik maka penawaran CPO di pasar domestik akan semakin banyak. Penawaran domestik CPO Indonesia memiliki hubungan yang negative dengan harga CPO domestik.
Dengan peningkatan penawaran domestik maka harga domestik akan menurun. Harga pasar domestik akan turun akibat terdapat banyak pasokan CPO di pasar. Produksi CPO Indonesia memiliki hubungan yang negatif terhadap harga domestik CPO Indonesia. Apabila produksi CPO Indonesia meningkat, maka penawaran CPO di pasar domestik akan meningkat. Harga CPO Indonesia periode sebelumnya mempunyai hubungan yang positif dengan harga domestik CPO Indonesia. Harga minyak kelapa mempunyai tidak memiliki hubungan dengan harga domestik CPO Indonesia. Hal ini menunjukkan minyak kelapa tidak mempengaruhi harga CPO domestik. Minyak kelapa dan CPO memiliki segmen pasar yang berbeda.
Kebijakan Pajak Ekspor mempengaruhi penawaran ekspor CPO Indonesia. Penawaran ekspor CPO Indonesia akan mempengaruhi penawaran domestik CPO Indonesia. Penawaran domestik CPO Indonesia akan mempengaruhi harga domestik CPO Indonesia, maka dapat disimpulkan bahwa kebijakan pajak ekspor tidak efisien dilakukan. Karena kebijakan ini tidak mampu memncapai tujuannya, yaitu untuk menurunkan harga CPO domestik. Dari sisi lain akan merugikan negara dengan menurunkan penawaran ekspor CPO Indonesia, yang merupakan salah satu sumber devisa negara terbesar.
Pajak ekspor dengan tujuan mendatangkan devisa bagi pemerintah harus dapat berjalan dengan pemenuhan kebutuhan dalam negeri dengan kombinasi kebijakan pajak ekspor. Pajak ekspor tidak boleh melanggar ketentuan yang telah disepakati Indonesia dalam perjanjian bilateral, regional maupun internasional. Perlu adanya kebijakan yang terintegrasi antara pemerintah daerah dan pusat serta peran pusat yang mengkoordinasikan
seluruh wilayah serta menetapkan kebijakan dasar. Diperlukan diregulasi yang bersifat insentif yang efektif, serta upaya mengurangi intervensi pemerintah, sehingga tercipta iklim investasi yang menarik.

2. Pembentukan sistem pengawasan secara langsung terhadap pasokan dan harga domestik
Tata niaga CPO dan PKO pada mulanya diatur pemerintah melalui Surat Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi pada tahun 1978 untuk tujuan ekspor. Selanjutnya masih pada tahun yang sama, dikeluarkan Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri, yaitu Menteri Perdagangan dan Koperasi, Menteri Pertanian, dan Menteri Perindustrian yang berisi tentang pengaturan sistem tata niaga minyak sawit baik di dalam negeri maupun untuk ekspor. Selanjutnya, dalam teknis pelaksanaan sistem tata niaga minyak sawit untuk perdagangan dalam negeri, surat keputusan bersama tersebut diperkuat dengan kebijaksanaan pedoman dan pelaksanaan teknis yang diatur dalam Keputusan Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri yang dikeluarkan pada tahun 1979 dan 1983. Surat keputusan ini mengatur tentang syarat-syarat penyerahan, pengangkutan, teknis pelaksanaan, dan sebagainya.

3. Pembatasan dan pelarangan ekspor CPO
Sebenarnya kenaikan harga minyak goreng ini dipicu oleh naiknya harga Crude Palm Oil (CPO) atau biji sawit yang menjadi bahan baku minyak goreng curah di pasar dunia. Ini menggiurkan para pemasok sehingga, ramai-ramai melakukan ekspor. Praktis, pasokan ke pabrik-pabrik minyak goreng curah langka sehingga produksi menurun. Akibatnya, suplay ke pasar pun menurun, sehingga terjadi kenaikan harga. Untuk memenuhi pasokan kebutuhan dalam negeri, pemerintah telah mengeluarkan imbauan untuk menyetop sementara atau mengurangi ekspor bahan baku minyak goreng curah dan lebih mengutamakan pasokan ke pabrik minyak goreng untuk suplay kebutuhan dalam negeri. Kalau ternyata tetap melakukan ekspor, pemerintah akan memaksa dengan menempuh langkah menaikkan pajak ekspor. Sehingga, mau tidak mau para pemasok bahan baku ke pabrik minyak goreng memprioritaskan pasokan ke pabrik minyak goreng curah untuk kebutuhan dalam negeri.
Pembatasan ekspor merupakan salah satu strategi agar pabrik minyak goreng bisa berproduksi normal lagi. Dengan normalnya produksi, maka suplay ke pasar melalui distributor dan pengecer bisa lancar. Imbauan larangan ekspor sementara atau pembatasan ekspor CPO, juga diikuti dengan program operasi pasar. Dalam hal ini pemerintah melalui Wapres, menggelar program stabilisasi harga minyak goreng dengan menyediakan pasokan program stabilitasasi harga sebanyak 100-150 ribu ton untuk lima kota besar (Medan, Jakarta, Semarang, Jatim dan Makassar).
Solusi untuk menstabilkan harga minyak goreng melalui Somestik Market Obligation (DMO), yang mewajibkan 20 % dari produksi produsen CPO atau 3,2 juta volume untuk stabilitas haraga minyak goreng yang ditetapkan Pemerintah agar harga minyak goreng turun. Tentu tidak segampang menerapkan DMO, tentu ada PP (Peraturan Pemerintah) yang mengaturnya. Pengutan ekspor tidak efektif dalam menstabilkan harga minyak goreng dalam negeri adalah bahan baku 80 - 90 % berasal dari CPO, dengan harga CPO di pasar global naik maka berpengaruh pada harga CPO dalam negeri. Volume CPO dalam negeri cukup selain itu karena banyak CPO untuk bio fuel yang mendongkrak harga CPO menjadi sekitar Rp. 7.500/kg.

Peraturan Terkait dengan Pajak dan Retribusi Komoditi
Dalam rangka mendorong pertumbuhan ekspor dan meningkatkan penerimaan devisa serta menciptakan efisiensi perekonomian nasional, dipandang perlu meninjau kembali dan menetapkan besarnya tarip Pajak Ekspor kelapa sawit, minyak kelapa sawit dan produk turunannya. Hal ini dituangkan dalam Keputusan Menteri Keuangan RI No. 360/KMK.0171999 tentang Penetapan Besarnya Tarif Pajak Ekspor Kelapa Sawit, Minyak Kelapa Sawit dan Produk Turunannya di mana
berlaku :

Harga Patokan Ekspor secara berkala ditetapkan oleh Menteri Perindustrian dan Perdagangan. Bila Harga Patokan Ekspor ini tidak ada, maka pajak ekspor dihitung berdasar harga FOB yang tercantum dalam Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB). Sedangkan nilai tukar mata uang ditentukan oleh Menteri Keuangan secara berkala.

Kesimpulan
Komoditi minyak kelapa sawit (CPO) Indonesia memiliki daya saing. Namun daya saing tersebut berupa murahnya biaya produksi dibandingkan dengan negara produsen lainnya. Hal ini disebabkan oleh rendahnya upah buruh di Indonesia dan kebijakan subsidi pupuk oleh pemerintah, serta karena factor endowment yang dimiliki Indonesia.
Namun dalam menghadapi era perdagangan bebas mendatang, daya saing yang didasarkan oleh murahnya upah buruh serta adanya kebijakan subsidi pupuk tidak akan dapat bertahan lama. Jika daya saing hanya mengandalkan kepada kedua faktor tersebut, maka Indonesia akan kehilangan posisisnya sebagai salah satu pemasok utama dunia untuk komoditi minyak kelapa sawit.
Di era pasar bebas mendatang bukannya tidak mungkin upah buruh akan meningkat, sehingga upah buruh tidak dapat lagi diandalkan sebagai faktor yang menyebabkan daya saing. Begitu juga halnya dengan subsidi pupuk agar dipertimbangkan kembali agar sesuai dengan kebutuhan dan tepat pada sasaran. Dari pengalaman menunjukkan subsidi ternyata lebih dinikmati oleh importir, distributor dan pedagang. Sementara petani dan konsumen tidak mendapat manfaat dari subsidi tersebut.
Jika dilihat dari perkembangan produksi dan ekspor impor dunia, maka dapat dikatakan bahwa minyak kelapa sawit Indonesia memiliki prospek ekspor yang cerah. Ini berarti Indonesia memiliki peluang yang lebih besar untuk memperoleh devisa dari komoditi ini. Karena mempunyai arti penting bagi Indonesia , maka pemerintah perlu campur tangan dan mengatur tata niaga minyak kelapa sawit dalam bentuk pengaturan alokasi, pengawasan pasokan dan harga serta pembatasan dan pelarangan ekspor CPO. Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan selama ini untuk kelapa sawit hanya bersifat jangka pendek dan
lebih berorientasi kepada konsumen domestik. Adapun tujuan utama kebijakan tersebut adalah untuk menjaga kestabilan pasokan CPO dalam negeri. Instrumen yang digunakan pemerintah untuk tujuan tersebut adalah berupa penetapan pajak ekspor CPO. Jika dilihat dari perkembangan kebijakan pemerintah dari tahun 1994-1999 terlihat bahwa penetapan pajak ekspor berubah-ubah. Jika pasokan dalam negeri berkurang yang mengakibatkan mahalnya harga CPO dalam negeri, maka pajak ekspor dinaikkan.
Apabila pasokan dalam negeri dirasakan sudah cukup dan harganya turun, maka pajak ekspor kembali diturunkan. Pada september 2000 pajak ekspor kembali diturunkan menjadi 5%. Melalui kebijakan-kebijakan tersebut terlihat ketidakseriusan dalam melihat peluang ekspor CPO di pasar internasional. Inkonsistensi kebijakan tersebut menimbulkan kacaunya tata niaga CPO yang sudah ada. Oleh karena itu penetapan pajak ekspor CPO sebaiknya dipertimbangkan kembali dengan menganalisis dampak (positif/negatif) yang dapat terjadi akibat penetapan PE CPO.
Dari pemaparan diatas memang ada perbedaan "visi dan misi" antara pemerintah dengan produsen minyak kelapa sawit Indonesia. Di satu sisi pemerintah ingin agar pasokan dalam negeri stabil, sementara di sisi lain produsen dan petani menginginkan agar keuntungannya dapat dimaksimalkan. Pemerintah dipaksa untuk memilih akan berpihak kemana, apakah produsen atau konsumen karena pasti ada tradeoff diantara keduanya.

DAFTAR PUSTAKA
Aschauer, D. 1989. Ist Public Expenditure Productive. Journal of Monetary Economics 23 (March). The World Bank.
Bappenas. 2004. Model Pertumbuhan Sektor Pertanian untuk Penyusunan Strategi Pembangunan Pertanian. Direktorat Pertanian dan Pangan, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Jakarta.
Badan Pusat Statistik. (2000). Indikator Ekonomi, September 2000, Badan Pusat Statistik, Jakarta.
BPS. 2004. Sensus Pertanian 2003: Angka Provinsi Hasil Pendaftaran Rumah Tangga (Angka Sementara). Badan Pusat Statistik, Jakarta.
Lewis, W.A. 1954. Economic Development with Unlimited Supplies of Labor.
Menteri Pertanian Republik Indionesia. 2001. Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 459/Kpts/OT.210/8/2001, Jakarta.
Menteri Pertanian Republik Indonesia. 2002. Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 70/Kpts/OT.210/1/2002.
Perkins, D. H; S.Radeler; D. R. Snodgrass; M. Gillis, dan M. Roemer. 2001. Economics of Development. Fifth Edition. New York: W.W. Norton and Company.
Priyarsono, D.S., A. Daryanto dan L. Herliana. 2005. Dapatkah Pertanian Menjadi Mesin Pertumbuhan Ekonomi Indonesia? Analisis Sistem Neraca Sosial Ekonomi.Agro-Ekonomika, 35 (1): 37-47.
Ram, R. 1986. Government Size and Economic Growth : A New Framework and Some Evidence from Cross-Section and Time-Series Data. American Economic Review Vol. 76, No. 1 (March).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar